Ada dua blunder yang merugikan
PDI Perjuangan dalam pertemuan Permata Hijau yang digelar Senin
(14/4/2014) malam lalu. Tetapi yang paling fatal adalah terlibatnya
Vatikan dalam pertemuan itu.
Kesalahan pertama adalah
terlibatnya Amerika Serikat, melalui duta besarnya Robert O. Blake dalam
pertemuan itu. Dalam pandangan saya, kalau pun PDI Perjuangan memandang
faktor AS itu begitu signifikan, sikap ‘sumerah’ tersebut tidaklah
harus dibuat setelanjang itu ke public. Menjadikannya hanya sebagai
‘rahasia dapur’ tentu saja lebih elok untuk nama besar PDIP yang biasa
menampilkan retorika-retorika kemandirian dan anti-asing khas Bung Karno
itu di mata public.
Bagi saya, sebagaimana ‘faktor militer’,
‘faktor AS’ hanyalah mitos yang entah mengapa tanpa reserve kita
pertahankan. Seolah, tanpa dukungan AS, tak mungkin seseorang bisa
menjadi presiden Indonesia.
Mungkin ada benarnya, mengingat
fakta sejarah seputar penurunan Bung Karno, naiknya Soeharto dan
seterusnya yang selalu melibatkan pembicaraan tentang ‘faktor AS’ itu.
Bahkan tak kurang yang terbuka, seperti terungkap dalam biografi mantan
Menteri Luar Negeri AS, Condoleeza Rice. Dalam ‘No Higher Honor: A
Memoir of My Years in Washington’ itu Rice tanpa sungkan menilai para
presiden Indonesia yang sempat dikenalnya. Misalnya, sebagai tanda
persetujuannya atas kemenangan SBY dalam Pemilu 2014--Rice tak satu kata
pun menyebut mitra SBY, Jusuf Kalla, Rice mengatakan SBY telah membawa
era baru bagi Indonesia.
Tetapi sukar untuk menolak bahwa dalam
politik Indonesia, ‘faktor AS’ pun tak lebih dari sekadar mitos. Sama
halnya dengan ‘militer’ yang dianggap lebih kapabel, yang dalam banyak
hal hanya merujuk Soeharto. Yang lain, maaf kata, justru membuktikan
sebaliknya.
Sementara sebaliknya, yang faktual adalah bahwa
kepemimpinan mana pun yang mengedepankan mitos, bukanlah kepemimpinan
yang cocok untuk dinamis dan tak terprediksinya masa depan. Ia telah
menjadi masa lalu yang seharusnya ditinggalkan. Sudah tidak masanya lagi
melibatkan ‘wahyu keprabon’ atau mitos minum air kelapa pemberi nasib
baik ala Sutawijaya dalam Babad Tanah Jawi untuk urusan kepemimpinan saat ini.
Tetapi
tentu saja, yang kedua, yakni melibatkan Vatikan ke dalam pertemuan itu
jauh lebih fatal. Orang masih bisa memaklumi terlibatnya AS dengan ke
dalam pertemuan, mengingat negara adidaya itu faktor penting dalam
percaturan dunia saat ini. Apalagi kalau kita membuka data statistik
tentang ketergantungan Indonesia, yang tak hanya melulu soal ekonomi,
melainkan juga kebudayaan, sosial, hukum dan demokrasi.
Tetapi
Vatikan? Nyaris bisa dikatakan, tak ada kepentingan strategis apa pun
yang bisa dijadikan alasan pembenar hadirnya dubes Vatikan pada
pertemuan itu. Sebaliknya, hadirnya Dubes Vatikan justru memberi ‘noda’
pada pertemuan.
Yang paling jelas, ia menjadi alasan pembenar
(justifikasi) bagi banyak kalangan untuk mengorek rumors lama di sekitar
pencalonan Jokowi. Isu yang muncul sejak ia mengincar kursi gubernur
DKI Jakarta: isu sektarian keagamaan. Isu yang tak juga lekang di masa
Pileg kemarin.
Bukankah kita pun tahu, dengan gampang kita bisa
menemukan pamflet, selebaran, baik itu dalam bentuk cetakan maupun yang
berseliweran di dunia maya lewat internet dan telepon seluler kita?
Bukanlah kita tahu betapa repot Jokowi dan PDI Perjuangan menepis isu
primordial yang mengembalikan kita ke tahun-tahun awal kemerdekaan,
setidaknya era 1950-60-an itu?
Lalu untuk apa isu tidak cerdas
yang membawa bangsa kepada sentimen sempit primordial itu justru
dihadirkan kembali secara telanjang dengan terlibatnya Vatikan dalam
pertemuan?
Unsur PDI Perjuangankah yang alpa memikirkan
akibatnya, dan sengaja mengundang Vatikan ke dalam pertemuan? Jujur
saja, saya ragu. Jokowi dan PDI Perjuangan tahu betapa kerasnya isu
primordial itu menghantam mereka. Mereka juga tahu betapa sulitnya
berkelit.
Tetapi begitu saja menunjuk inisiator pertemuan,
Jacob Soetoyo, sebagai pengundang pihak Vatikan pun kurang memiliki
alasan kuat. Bagaimana mungkin, Jacob, seorang yang sempat menjadi
anggota Dewan Pengawas CSIS dan anggota lembaga terkemuka dunia,
Trilateral Commision, semudah itu silap memperhitungkan dampak negatif
keterlibatan Vatikan ?
Atau justru semua telah tertata dalam rencana?
Posting Komentar