Oleh;
Rustomo, S.Pd
NIM:
12.0212.0996
Dosen Pembimbing
Prof. Dr. H.
Asmaran, AS, MA.
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) ANTASARI
PROGRAM PASCA SARJANA
MANAGEMENT PENDIDIKAN ISLAM
BANJARMASIN
2012
I. PENDAHULUAN
Pragmatisme merupakan gerakan
filsafat Amerika yang mulai terkenal selama satu abad terakhir. Aliran filsafat
ini merupakan suatu sikap, metode dan filsafat yang memakai akibat-akibat
praktis dari pikiran dan kepercayaan sebagai ukuran untuk menetapkan nilai
kebenaran. Filsafat ini berusaha bersikap kritis terhadap sistem-sistem
filsafat sebelumnya.[1]
Pragmatisme merupakan salah satu
dari sekian munculnya aliran filsafat yang berkembang pada abad
kontemporer. Pragmatisme ini berasal dari kata ‘practic’ dan ‘practical’.
Istilah ini berasal bahasa Yunani yakni dari kata pragma yang
berarti action.[2]
Pengertian Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar
ialah apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan
akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis.[3]
Filsafat pragmatis ini pertama kali dikenalkan oleh Charles Pierce pada tahun
1878 melalui artikelnya yang berjudul, ‘How to make our ideas clears’.[4]
Melihat definisi di atas tampaknya
pegangan filsafat pragmatis adalah logika pengamatan. Di mana aliran ini
bersedia menerima segala sesuatu, dengan syarat dapat membawa akibat yang
praktis. Termasuk pengalaman-pengalaman pribadi diterima asal bermanfaat,
bahkan kebenaran mistis dipandang juga. Dengan demikian landasan pragmatisme
adalah manfaat bagi hidup praktis.[5]
Dalam perkembangan selanjutnya
filsafat ini ternyata berjalan dalam tiga jurusan yang berbeda, maksudnya
sekalipun semuanya berpangkal dari satu gagasan asal, namun bermuara dalam
kesimpulan-kesimpulan yang berbeda. Tetapi pada dasarnya ketiganya itu adalah
sama, yaitu menolak segala intelektualitas, absolutisme dan meremehkan logika
formal.[6]
Ketiga dasar tersebut nantinya akan diuraikan dalam bagian pokok-pokok ajaran
dalam filsafat pragmatis.
Dalam pembahasan ini akan diuraikan
mengenai; pertama, pokok-pokok ajaran pragmatisme. kedua, yaitu dua tokoh yang
memopulerkan filsafat ini yaitu William James dan John Dewey dengan konsep
kepercayaan atau agama. Ketiga kolaborasi pemikiran kedua tokoh tersebut serta
kesimpulan.
II. PEMBAHASAN
A. Pokok-Pokok
Ajaran Filsafat Pragmatisme
Sesuatu yang penting dalam filsafat
pragmatis dan menjadi pegangan adalah logika pengamatan. Oleh karena itu aliran
ini bersedia menerima segala sesuatu, asal saja membawa akibat praktis.
Meskipun itu pengalaman-pengalaman yang bersifat pribadi, kebenaran mistis,
semuanya dapat diterima sebagai kebenaran dan dasar tindakan, dengan syarat
membawa akibat praktis yang bermanfaat. Atas dasar inilah maka patokan bagi
pragmatisme adalah manfaat bagi hidup praktis.[7]
Dasar-dasar yang digunakan dalam filsafat pragmatis adalah dengan menggunakan
rumus sebagai berikut ; pertama menolak segala intelektualisme, kedua,
absolutisme dan ketiga meremehkan logika formal.[8]
Aliran pragmatis menolak intelektualisme, ini berarti juga menentang
rasionalisme sebagai sebuah pretensi dan metode. Dengan demikian tidak
mempunyai aturan-aturan dan doktrin-doktrin yang menerima metode. Seorang ahli
pragmatis Italia bernama Papini mengatakan ; pragmatis adalah ketiadaan
dalam teori pragmatis, ibarat seperti sebuah koridor dalam sebuah hotel.[9]
Dasar kedua adalah absolutisme.
Pragmatisme tidak mengenal kebenaran yang bersifat mutlak, yang berlaku umum
ataupun bersifat tetap bahkan yang berdiri sendiri pun tidak ada. Alasan ini
disebabkan adanya pengalaman yang berjalan terus dan segala yang dianggap
benar dalam perkembangan pengalaman itu senantiasa akan berubah, karena
di dalam prakteknya apa yang dianggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman
berikutnya. Oleh karena itu tidak ada kebenaran yang mutlak, kecuali yang ada
adalah kebenaran-kebenaran ( dalam bentuk jamak), artinya apa yang benar dalam
pengalaman-pengalaman yang khusus, yang setiap kali dapat diubah oleh
pengalaman berikutnya.[10]
Dengan demikian ini berarti bahwa
pragmatisme dalam membuat suatu kesimpulan-kesimpulan tidak memiliki
aturan-aturan yang tetap yang dapat dijadikan Standard atau ukuran dalam
merumuskan suatu kesimpulan. Hukum kebenaran yang terus berjalan ini, maka
nilai pertimbangannya adalah akal dan pemikirannya, sementara yang dijadikan
sebagai tujuan adalah dalam perbuatannya atau aplikasinya. Proses yang terjadi
pada akal dan pemikiran itu harus mampu menyesuaikan dengan kondisi dan
situasinya. Sesungguhnya akal dan pemikiran itu menyesuaikan diri dengan
tuntutan kehendak dan tuntutan perbuatan.[11]
B. William
James (1842-1910)
William James dilahirkan di New
York, anak dari Henry James, William James belajar ilmu kedokteran di Havard
Medical School pada tahun 1864 dan mendapat M.D-nya tahun 1869, tetapi
William tidak tertarik ilmu pengobatan dan menyenangi fungsi alat-alat tubuh
kemudian belajar psikologi di Jerman dan Prancis pada tahun 1870. Setelah lulus
James mengajar di Universitas Havard, secara berturut-turut mengajar mata
kuliah Anatomi, fisiologi, psikologi dan filsafat sampai tahun 1907. Tiga tahun
kemudian 1910 James meninggal dunia. Karya-karya James yang terpenting adalah
the principles of psychology (1890), the will to believe (1897), Human
Immortality (1898), the varietes of religious experience (1902), dan pragmatism
(1907).[12]
William James seorang ahli
psikologi,[13]
namun James tertarik untuk mempelajari filsafat. Ketertarikannya ini didasarkan
kepada dua hal yaitu ilmu pengetahuan dan agama. Seorang ilmuwan mempelajari
tentang pengobatan akan memikirkannya bagaimana akibat dari hasil
pengobatan itu, selanjutnya berusaha menyeleksi dengan kemampuan emosi
agamanya.[14]
Pada bidang agama William James
menunjukkan karyanya yang berjudul the varieties of religious experience,
James mengemukakan bahwa gejala-gejala keagamaan itu berasal dari
kebutuhan-kebutuhan perorangan yang tidak disadari. Pengungkapan yang dilakukan
seseorang itu berlain-lainan, mungkin pada alam di bawah sadar yang
dijumpai pada realitas kosmis yang lebih tinggi. Sesungguhnya tidak ada
sesuatu yang dapat meneguhkan hal tersebut secara mutlak. Bagi seseorang yang
memiliki kepercayaan hal itu merupakan realitas kosmis yang tinggi, atau
merupakan nilai kebenaran subyektif dan relatif. Ini berarti sepanjang
kepercayaan itu memberikan kepada seseorang akan nilai hiburan rohani,
penguatan keberanian hidup, perasaan damai, keamanan kasih sesama
dan lain-lain. Sesungguhnya nilai agama/pengalaman keagamaan mempunyai nilai
yang sama, apabila akibatnya sama-sama memberi kepuasan kepada kebutuhan
keagamaan.[15]
Dalam mempelajari filsafat
pragmatisme yang dikenalkan oleh Charles Pierce; James berusaha
menginterpretasikan dengan sebutan pragmatism: A new name for some old ways
of thinking 1907. Kemudian James menulisnya dalam sebuah kritikan yang
ditampakkan dalam karyanya the meaning of truth (1909).[16]
Dalam memahami kebenaran James mendasarkan pemikirannya pada radical
empiricism. Fakta ini dibuat karena adanya pengalaman manusia yang
dilakukan terus menerus.[17]
Menurut James tidak ada kebenaran mutlak yang berlaku umum ataupun yang
bersifat tetap bahkan yang berdiri sendiri lepas dari akal yang mengenal,
Karena pengalaman manusia akan terus berjalan dan segala sesuatu yang
dianggap benar, namun dalam tahap perkembangannya akan berubah. Ini disebabkan
adanya koreksi dari pengalaman-pengalaman berikutnya. Kebenaran yang ada
hanyalah kebenaran-kebenaran yang bersifat jamak, artinya benar pada
pengalaman-pengalaman khusus akan diubah pada pengalaman berikutnya.[18]
Nilai pertimbangan dalam pragmatisme
tergantung pada akibatnya yaitu kepada kerjanya, didasarkan pada keberhasilan
dari perbuatan yang disiapkan oleh pertimbangan tersebut. Apabila pertimbangan
itu benar, maka akan bermanfaat bagi pelakunya.[19] Oleh
karena itu dalam melakukan pertimbangan harus benar-benar terseleksi agar
memperoleh manfaat yang diharapkan.
Antara agama dengan filsafat
pragmatis diharapkan memberikan rasa ketenangan dan kedamaian. Akibatnya ketika
James tertarik kepada ilmu pengetahuan dan agama ini dimaksudkan, bahwa ketika
James mempelajari studi pengobatan dengan tendensi materialisme maka berusaha
mengecek dengan emosi agama (perasaan agama).[20]
Oleh karena itu James dalam
mempelajari agama atau kepercayaan memberikan tiga opsi yang menjadi pilihan,
yaitu : pertama ; living or died. Kedua, forced or avoidable dan ketiga
momentous or trivial.[21]
Opsi yang ditawarkan ini mencoba memberikan sebuah makna kehidupan ini bahwa
menjalankan atau mengerjakan sesuatu harus senantiasa memberikan rasa
ketenangan. Kenyataan hidup harus dijalani dan dihadapi dengan gigih serta dapat
mengambil manfaat terutama bagi dirinya. Karena manusia selamanya tidak akan
hidup terus tetapi suatu saat akan menghadapi kematian.
C. John Dewey
(1859-1952)
John Dewey lahir di Baltimor, ia
salah satu dari generasi pragmatisme yang menghasilkan pemikiran yang hebat
setelah James. Dewey menjadi guru besar dalam bidang filsafat dan bidang
pendidikan di Chicago (1894-1904) dan akhirnya di Universitas Colombia (1904-
1929).[22]
Bagi John Dewey filsafat bertujuan
untuk memperbaiki kehidupan manusia serta lingkungannya atau untuk mengatur
kehidupan manusia serta aktivitasnya dalam memenuhi kebutuhan manusiawi. Oleh
karena itu tidak heran jika John Dewey disebut sebagai tokoh filsafat yang
mempunyai karakter yang dinamis yang diwarisi oleh Hegel, yaitu faham dualisme
yang berlebih-lebihan seperti antara between mind and body : between necessary
and contingent propositions, between cause and effect, between secular and
transcendent, namun Dewey lebih suka membuat pandangan baru dengan memperkaya
teori-teori dan memahami sebuah fungsi teori itu, dengan demikian Dewey adalah
seorang yang anti reduksionis.[23]
Meskipun Dewey seorang pragmatis,
tetapi Dewey lebih suka menyebut sistemnya dengan istilah Instrumentalisme.
Yang dimaksud Instrumentalisme adalah suatu usaha untuk menyusun suatu teori
yang logis dan tepat dari konsep-konsep, pertimbangan-pertimbangan,
penyimpulan-penyimpulan dalam bentuknya yang bermacam-macam. Cara yang
dilakukan adalah dengan menyelidiki bagaimana pikiran fungsi dalam
penentuan-penentuan yang berdasarkan pengalaman, mengenai konsekuensi -
konsekuensi di masa depan. Salah satu kunci filsafat instrumentalia adalah
pengalaman (experience). Filsafat harus berpijak pada pengalaman itu secara
aktif dan kritis, agar filsafat dapat menyusun sistem norma-norma dan
nilai-nilai.[24]
Filsafat Dewey yang dinamakan dengan
Instrumentalisme ini memiliki tiga aspek sebagai alat dalam melahirkan
penyelidikan. Di antaranya, pertama “temporalisme” yaitu terdapat gerak
kemajuan nyata dalam waktu. Pemikiran kebenaran terus berjalan maju dengan
melihat pengalaman yang terus berlangsung. Kedua “futuristic” yaitu
mendorong untuk melihat masa depan tidak hari kemarin. Ketiga
“milionarisme” bahwa kehidupan dunia ini dapat dibuat lebih baik dengan
kemampuan diri manusia, barangkali pandangan yang demikian juga dianut oleh
William James.[25]
Instrumentalisme yang dimaksud Dewey
adalah ide besar sebagai alat dalam mengatasi permasalahan-permasalahan yang bersifat
praktis. Dewey berusaha mengembangkan teori-teori baru tanpa melakukan reduksi
dari tokoh-tokoh pragmatis sebelumnya. Ini dilakukan untuk memperoleh bentuk
baru dalam kajian filsafat pragmatis.
Oleh karena itu ketika membahas
masalah agama atau kepercayaan, Dewey mengakui bahwa semua agama termasuk
kepercayaan merupakan sebuah doktrin kebenaran yang tersirat makna intelektual.
Ini disebabkan bahwa kepercayaan merupakan pengakuan yang paling hakiki dan
sebagai doktrin yang tidak dapat diubah.[26] Di
samping itu pengalaman agama seseorang merupakan petunjuk yang diyakini setiap
individu.
Meskipun kajian agama menjadi
masalah ketika dihadapkan pada sistemnya yaitu instrumentalia, namun bukan
menjadi hambatan dalam menghadapi problem ini. Bagaimanapun juga dasar yang
digunakan oleh instrumentalia adalah pengalaman. Ini jelas bahwa Dewey mengakui
pengalaman seseorang meski itu bersifat mistik atau tidak dapat dibuktikan
dengan logika, yang penting akibat dari pengalaman itu dapat memberikan nilai
manfaat baginya yaitu ketenangan dan kedamaian.
D. Kolaborasi
Pemikiran Tokoh Pragmatis
Filsafat pragmatis yang telah
dipopulerkan oleh William James dan dikembangkan John Dewey mendapat sambutan
hangat dari masyarakat Amerika. Pragmatisme mencoba mencari format baru yang
mungkin berbeda dengan filsafat yang berkembang di Yunani maupun di Eropa,
meskipun pada dasarnya filsafat ini juga melakukan reduksi terhadap filsafat
Yunani, yang dari zaman ke zaman menampakkan gaungnya.
Fakta menunjukkan sumber dasar yang
digunakan oleh William James dengan “radikal empirision”.[27]
merupakan hasil reduksi dari pemikiran bangsa Yunani yaitu Aristoteles dengan
filsafat empirismenya, yang tidak jauh berbeda dengan pegangan utama pragmatis
yaitu logika pengamatan. Keduanya meneguhkan dengan fakta-fakta yang dapat
dilihat. Tetapi pragmatis lebih mengutamakan akibat praktis yaitu manfaat bagi
hidup praktis. Sedang empirisme (Aristoteles) tidak harus berakibat pada
praktis.
Antara William James dan John Dewey,
pada dasarnya berpangkal pada gagasan asal dengan tiga doktrin pragmatis, namun
pada akhirnya bermuara pada kesimpulan-kesimpulan yang berbeda, misalnya James
dalam menilai kebebasan, tidak ada kebenaran mutlak atau berdiri sendiri, sebab
pengalaman akan berjalan terus dan benar akan selalu berubah, yang ada
adalah benar-benar. Semantara Dewey menilai kebenaran adalah dengan
penyelidikan, dan yang benar adalah apa yang ada pada akhirnya disetujui oleh
semua orang yang menyelidiki. Karena kebenaran memiliki nilai fungsional yang tetap,
tetapi pernyataan-pernyataan yang dianggap benar senantiasa dapat berubah.
Kemiripan di antara keduanya tersebut terkadang tidak diakui, barangkali
keduanya ingin menunjukkan karyanya yang harus dibedakan dan dihargai.
Pragmatis apabila dilihat dari sisi
kelebihan atau keuntungan mempelajarinya adalah kemudahan hidup yang tidak
perlu berangan-angan atau berpikir yang muluk-muluk, namun cukup berpikir yang
praktis dengan mempelajari pengalaman-pengalaman sendiri yang telah dilalui.
Pengalaman-pengalaman itu termasuk hal-hal yang bersifat pribadi berkaitan
dengan mistis atau agama, yang penting memberikan manfaat kedamaian hati,
keberanian hidup. Demikian William James mengungkapkan sebagai seorang yang
beragama Protestan. Nampaknya James dan Dewey dalam memandang agama mempunyai
pikiran yang sama yaitu mengakui adanya pengalaman mistik seseorang yang tidak
dapat dibuktikan dengan fakta, tetapi yang penting pada kehidupan selanjutnya
menjadi lebih baik. Karena mampu mengambil nilai manfaat praktis dari pengalaman
mistis tersebut. Sebaliknya cara-cara James dan Dewey ini berbeda ketika
mencari epistemologinya dalam kajian agama sebagaimana telah dijelaskan di
atas.
Sementara kelemahan yang terdapat
pada filsafat pragmatisme adalah pada ketiga doktrin pragmatis yang perlu
ditinjau lagi. Misalnya menolak intelektualitas yaitu rasionalitas sebagai
sebuah metode. Persepsinya tidak ada planning atau rencana dalam
pemikiran untuk melakukan atau mengerjakan sesuatu, karena semuanya berjalan
tanpa dikendalikan oleh akal. Pengalaman-pengalaman[28]
adalah yang terpenting yang dapat memberikan nilai praktis hidup. Namun apa
yang terjadi jika pengalaman-pengalaman yang muncul adalah
pengalaman-pengalaman yang mengerikan (pembunuhan, perkosaan, kecelakaan, dan
lain-lain), yang menimbulkan akibat trauma. Barangkali pengalaman-pengalaman
inilah yang harus ditinggalkan karena berakibat pada kecemasan dan
keragu-raguan dalam dirinya.
Ditolaknya rasionalisme ini didasari
oleh background William sebagai seorang psikolog yang berusaha mengombinasikan
antara psikologi dan filsafat. Usaha ini nampak pada karyanya the
sentiment of rationality yang ditulis pada tahun 1879 memperlihatkan
psikologi memasuki filsafat. Masalah utama yang dihadapi filosof adalah rasio
atau pengertian sesuatu, maka tahun 1884 James menulis the dilemma of
determinism yang memperlihatkan sensitivitasnya terhadap aspek moral dan
metafisika Kemauan bebas manusia. Filsafat membutuhkan penjelasan dari
psikologi bila menyangkut masalah agama sementara filsafat memerlukan tindakan
nyata dalam masalah kehidupan, yaitu filsafat tentang sesuatu yang khusus dan
kongkrit yang disebut dengan pragmatisme.[29]
Masalah agama atau kepercayaan bagi
James merupakan pilihan yang ditawarkan dengan opsinya yaitu living or died,
forced or avoidable dan momentous or trivial. Ini berbeda dengan
Dewey bahwa baginya semua agama atau kepercayaan itu merupakan sebuah pengakuan
kepercayaan yang diyakini kebenarannya. Doktrin ini mampu membangkitkan
keyakinan pada dirinya dalam menghadapi kehidupan. Makna agama bagi kedua tokoh
ini dihayati untuk memperoleh ketenangan dan kedamaian hidup.
III. SIMPULAN
Pragmatisme merupakan simbol
perkembangan filsafat diabad kontemporer yang mendapat tempat tersendiri
khususnya masyarakat Amerika Serikat. Diakui atau tidak pragmatisme adalah
bagian dari perkembangan ilmu pengetahuan yang dihargai oleh dunia intelektual,
terbukti ilmu pragmatis ini mendapat tempat dan dipelajari di Perguruan Tinggi,
sebagai bagian bahan kajian filsafat.
William James dan John Dewey adalah
dua tokoh pragmatis yang mampu menunjukkan pada dunia intelektual tentang
bentuk filsafat barunya, sebagaimana telah dijelaskan bahwa format baru itu
adalah kombinasi dari ilmu psikologi dengan filsafat terutama yang dipromotori
oleh William James dengan membentuk ilmu praktis yang disebut dengan
Pragmatisme. Di sisi lain John Dewey berusaha mengembangkan pragmatisme dengan
metode barunya yang disebut Instrumentalisme, meskipun keduanya menghasilkan
kesimpulan-kesimpulan yang berbeda, tetapi pada dasarnya keduanya
bermuara dari satu asal yaitu dengan menggunakan logika pengamatan yang
terformulasikan pada penolakan segala intelektual, absolutisme dan meremehkan
logika formal.
Mempelajari filsafat tidak harus
meninggalkan keyakinan agama, namun sebaliknya justru merupakan alat utama
dalam mempelajari ilmu pengetahuan. Agama bukan penghalang untuk mencapai
sukses tapi lebih dari itu yakni sebagai motivasi untuk mencari
kebenaran. Pengalaman agama merupakan keyakinan yang dimiliki seseorang yang
terkadang sulit dipercayai dengan logika. Oleh karena itu kedua tokoh
pragmatisme ini mengakui adanya agama atau kepercayaan, meskipun sejarah
pragmatis pada awalnya sangat anti metafisik spiritual tetapi akhirnya pada
generasi kedua yaitu Hegelian telah mewarisi metafisik dari Jerman.[30]
DAFTAR PUSTAKA
Bronstein J. Daniel dkk, Basic Problems Of Philosophy,
America : The United States Of America, 1964
Encyclopedia Britanica, The university of Chicago,
1952
Hadiwijono Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat- 2
Yogyakarta : Kanisius, 1980
James William, Pragmatism, Amerika : New
American Library, 19740
Praja Juhaya S., Aliran-Aliran Filsafat dan Etika
Bandung : Yayasan Piara, 1997
Popper R. Karl, The Logic Of Scientific Discovery,
London : Routladge,
1980
Russel, Betrand History Of Western Philosophy , tt,
1945
Solomon Robert C., Kathleen M. Higgins, A short
History Of Philosophy, New York : Oxford University Press, 1996
Tafsir Ahmad, Filsafat Umum Bandung : Remaja
Rosdakarya, 1990
Wibisono Koento, Misnal Munir, Makalah,
Pemikiran Filsafat Barat: Sejarah Dan Peranannya Dalam Perkembangan Ilmu
Pengetahuan
http://ahnafiabadi.blogspot.com/2011/10/pragmatisme.html
[1] Koento Wibisono, Misnal Munir, Makalah,
Pemikiran Filsafat Barat : Sejarah Dan Peranannya Dalam Perkembangan Ilmu
Pengetahuan, hlm 24
[12] Ayah
William James yaitu Henry James adalah seorang yang terkenal dan berkebudayaan
tinggi dan pemikir kreatif. lihat Ahmad Tafsir, Filsafat Umum (Bandung : Remaja
Rosdakarya, 1990), 190. Harun Hadiwijono, Ibid, hlm 131
[13]
Psikologi menurut James adalah suatu ilmu pengetahuan tentang gejala-gejala
yang sejajar dengan ilmu pengetahuan alam, dimana psikologi mempunyai
hukum-hukum dan metode sendiri.lihat Harun Hadiwijono, Ibid, hlm 131
[14] Betrand
Russel, History Of Western Philosophy (tt, 1945), hlm 766
[17] Robert C.Solomon,
Kathleen M. Higgins, A short History Of Philosophy ( New York : Oxford
University Press, 1996), hlm 259
[21] Daniel J.
Bronstein dkk, Basic Problems Of Philosophy (America : The United States
Of America, 1964), 488
[26] Daniel J.
Bronstein, Basic Problems Of Philosophy (America : The United States Of
America, 1964), hlm 496
[27] Sebuah doktrin dari teori pragmatismenya dengan tiga
syarat yang menjadi pegangan antara filsafat pragmatisme yaitu menolak
intlektualisme, absolutisme dan meremehkan logika formal, lihat Betrand
Russel History of Western Philosophy, Ibid 766. Radical empiristion
dipublikasikan pada tahun 1904 dalam sebuah Essay yang disebut “Conscousness”
tujuan utama menolak tentang hubungan subjek objek fundamental, Ibid,
hlm 767
[28] Apa pengalaman itu? Cara terbaik menemukan jawabannya adalah dengan
membedakan antara peristiwa (event) yang tidak dialami dan peristiwa yang
dialami, kehujanan adalah pengalaman, tetapi hujan dimana berada adalah
tidak meninggalkan sesuatu yang bukan pengalaman. Kerena ada adalah bukan
pengalaman kecuali dimana ada itu tinggal.lihat Betrand Russel, History Of
Western Philosophy, Ibid, 768
[30] Robert C. Solomon, Kathleen M. Higgins, A Short
History Of Philosophy ( New York : Oxford University Press, 1966), hlm 261
Posting Komentar