BAB I
PENDAHULUAN
Kurikulum dapat dipandang sebagai suatu rancangan pendidikan. Sebagai suatu rancangan,
kurikulum menentukan pelaksanaan dan hasil pendidikan. Kita ketahui
bahwa pendidikan mempersiapkan generasi muda untuk terjun ke lingkungan
masyarakat.
Pendidikan bukan hanya sekedar pembelajaran, tetapi lebih dari itu
memberikan bekal pengetahuan, ketrampilan serta nilai-nilai untuk hidup,
bekerja dan mencapai perkembangan lebih lanjut di masyarakat. Anak-anak
berasal dari masyarakat, mendapatkan pendidikan baik formal maupun
informal dalam lingkungan masyarakat, dan diarahkan bagi kehidupan dalam
masyarakat pula.
Kehidupan masyarakat, dengan segala karakteristik dan kekayaan
budayanya, menjadi landasan dan sekaligus acuan bagi kurikulum atau
lebih kompleksnya lagi bagi pendidikan.
Dengan pendidikan, kita tidak mengharapkan muncul manusia-manusia yang
asing terhadap masyarakat-masyarakatnya, tetapi manusia yang lebih
bermutu, mengerti, dan mampu membangun masyarakatnya. Oleh karena itu,
tujuan, isi, maupun proses pendidikan harus disesuaikan dengan kondisi,
karakteristik, kekayaan, dan perkembangan masyarakat tersebut.
Pengembangan kurikulum, agar dapat berhasil sesuai dengan yang
diinginkan, maka diperlukan adanya landasan-landasan pengembangan
kurikulum yang akan menjadi pondasi bagi penyusunan sebuah kurikulum.
Pengembangan kurikulum menurut Dimyati dan Mudjiono mengacu pada tiga
unsur, yaitu, nilai dasar yang merupakan falsafah dalam pendidikan
manusia seutuhnya, fakta empirik yang tercermin dari pelaksanaan
kurikulum, baik berdasarkan penilaian kurikulum, studi, maupun survei
lainnya, dan landasan teori yang menjadi arahan pengembangan dan
kerangka penyorotnya.
Lebih lanjut Dimyati dan Mudjiono mengemukakan landasan pengembangan
kurikulum mencakup: landasan filosofis, sosiologis dan psikologis.
Pembagian kedua inilah yang akan kami bahas dalam makalah ini. Dengan
menitik beratkan pada aspek sosiologis saja.
Program pendidikan disusun dan dipengaruhi oleh nilai, masalah,
kebutuhan dan tantangan dalam masyarakat sekitarnya. Ini berarti
kurikulum disusun berlandaskan dasar sosiologis yang akan menjadi
pembahasan dalam makalah ini . Makalah ini menyajikan uraian tentang
landasan sosiologis sebuah pengembangan kurikulum.
Tiada gading yang tak retak, saran dan kritik yang membangun dari
teman-teman sangat kami harapkan untuk perbaikan makalah selanjutnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Sebelum kita berbicara lebih dalam mengenai Landasan Sosiologis Pengembangan Kurikulum,
maka ada baiknya kita ketahui terlebih dahulu asal dari empat kata
tersebut, agar kita bisa lebih jelas dengan apa yang akan kita bahas.
Karena apabila kita akan membahas sesuatu yang belum jelas, maka itu
akan dirasa membingungkan.[1]
Secara etimologi, Landasan Sosiologis Pengembangan Kurikulum tersusun dari empat kata, yaitu “Landasan” yang mempunyai arti alas, bantalan, dasar, dan tumpuan.[2] “Sosiologis” mempunyai arti yang bersifat sosial kemasyarakatan dan yang bersifat pengetahuan tentang sifat dan perkembangan masyarakat,[3] kata “Pengembangan” yang mempunyai arti proses perubahan menjadi lebih berkembang.[4] Serta kata “Kurikulum” yang mempunyai arti perangkat mata pelajaran yang diajarkan lembaga pendidikan.[5] Jadi dapat kita tarik definisi landasan sosiologis pengembangan kurikulum secara etimologi yaitu suatu landasan atau pijakan dalam menyusun sebuah kurikulum yang mengacu pada aspek kemasyarakatan.
Secara terminologi Landasan Sosiologis Pengembangan Kurikulum mempunyai arti asumsi-asumsi yang berasal dari sosiologi yang dijadikan titik tolak dalam pengembangan kurikulum.[6]
Mengapa pengembangan kurikulum harus mengacu pada landasan sosiologis?
Mari kita perhatikan pernyataan berikut, “Anak-anak berasal dari
masyarakat, mendapatkan pendidikan baik formal, informal, maupun non
formal dalam lingkungan masyarakat, dan diarahkan agar mampu terjun
dalam kehidupan bermasyarakat. Karena itu kehidupan masyarakat dan
budaya dengan segala karakteristiknya harus menjadi landasan dan titik
tolak dalam melaksanakan kurikulum.[7]
B. landasan Sosiologis
Berbicara mengenai landasan sosiologis sebuah kurikulum, maka kita juga
pasti akan sedikit banyak bersinggungan dengan keadaan sosial,
masyarakat dan budaya. Karena faktanya, budaya tidak bisa dilepaskan
dari aspek sosial kemasyarakatan. Budaya merupakan hasil dari interaksi
sosial yang terjadi melalui ide-ide yang mucul dari sebuah komunitas
manusia (masyarakat).
Ciri universal dari manusia adalah hidup secara berkelompok, dan pasti
membutuhkan orang lain. Manusia lahir belajar dan tumbuh dari
masyarakat. Tidak ada satupun manusia yang dapat hidup tanpa bantuan
orang lain.
Masyarakat adalah suatu sistem, yang di dalamnya ada beberapa subsistem
yang berjenjang secara struktural, mulai dari subsistem kepercayaan,
nilai, dan subsistem kebutuhan.[8]
Subsitem-subsistem tersebut mempunyai korelasi yang saling terkait.
Masyarakat sebagai sistem mampu proses pendidikan, oleh karenanya,
masyarakat harus dipertimbangkan dalam penyusunan sebuah kurikulum.
Sekolah adalah sebuah institusi sosial yang ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Oleh karena itu wajar jika dalam
penyusunan kurikulum sekolah lebih banyak dipengaruhi oleh kekuatan
sosial yang berkembang dan selalu berkembang di dalam masayarakat.
Pengaruh tersebut berdampak pada komponen-komponen kurikulum seperti
tujuan pendidikan, siswa, isi kurikulum, maupun situasi sekolah tempat
kurikulum dilaksanakan.[9]
Para pengembang kurikulum itu sendiri memiliki tugas untuk mempelajari
dan memahami kebutuhan masyarakat sebagaimana dirumuskan dalam undang-
undang, peraturan, keputusan pemerintah dan lain-lain; menganalisis
masyarakat dimana sekolah berada; menganalisis syarat dan tuntutan
terhadap tenaga kerja; menginterpretasi kebutuhan individu dalam ruang
lingkup kepentingan masyarakat.[10]
James W. Thornton seperti yang dikutip Prof. Oemar Hamalik, mengatakan
bahwa setidaknya ada empat kelompok kekuatan sosial yang mempengaruhi
kurikulum. Di antaranya :
1. Kekuatan sosial yang resmi, yang terdiri atas :
a. Pemerintah suatu Negara, melalui UUD dan ideologi negara.
b. Pemerintah daerah, melalui kebijakannya.
c. Perwakilan departemen pendidikan setempat
2. Kekuatan sosial setempat, yang terdiri atas :
a. Yayasan yang bergerak di bidang pendidikan.
b. Kerukunan atau persatuan keluarga sekolah-sekolah sejenis
c. Perguruan tinggi.
d. Persatuan orang tua murid.
e. Penerbit buku-buku pelajaran
f. Media massa
g. Adat kebiasan masyarakat setempat
3. Organisasi profesional, seperti persatuan guru, dokter dan ahli hukum.
4. Kelompok atau organisasi yang bergerak berdasarkan kepentingan tertentu, seperti kelompok patriotik dan sebagainya.
Seperti yang telah kami singgung di atas, bahwa ada beberapa pakar yang
menggunakan istilah masyarakat dan budaya sebagai pengganti dari istilah
sosiologis. Hal ini dipakai juga oleh Prof.Oemar Hamalik, beliau
membagi pembahasannya menajdi dua bagian yaitu masyarakat dan budaya.
Dalam studi antropologi dan sosiologi akan ditemukan sejumlah pengertian
“kebudayaan” antara yang satu dengan yang lainnya. Sebagai contoh, Selo
Sumarjan dan Sulaiman Sumardi merumuskan bahwa kebudayaan adalah hasil dari karya, rasa dan cipta masyarakat.[11]
Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan. Rasa
meliputi jiwa manusia yang diwujudkan dalam norma-norma dan nilai-nilai,
dan cipta merupakan pikiran orang-orang dalam hidup bermasyarakat.
Berbeda dengan pendapat di atas, Maurich Boyd seperti yang dikutip Oemar
Hamalik, mengatakan bahwa hasil karya manusia yang bersifat material
bukan termasuk kebudayaan, seperti teknologi, karena ia merupakan hasil
produksi dari kebudayaan dan hanya merupakan aspek esensial dari sebuah
kebudayaan.[12]
Dari dua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa budaya merupakan
lingkungan sosial manusia, dalam arti yang luas dan menyeluruh, yang
terkait dengan masyarakat tertentu.
Kebudayaan mempunyai dimensi yang kompleks. Karena itu dalam prakteknya
kita tidak dapat melihat berbagai dimensi kebudayaan yang terpisah.
Walaupun demikian untuk kepantingan analisis, para pakar menggolongkan
unsure dimensi kebudayaan menjadi enam, yaitu keluarga, pendidikan,
politik, ekonomi, agama, dan teknologi.[13]
C. Implikasi landasan Sosiologis dalam penyusunan Kurikulum
Faktor sosial budaya sangat penting dalam penyusunan kurikulum yang
relevan, karena kurikulum merupakan alat untuk merealisasikan sistem
pendidikan, sebagai salah satu dari dimensi kebudayaan. Implikasi
dasarnya adalah sebagai berikut :
1. Kurikulum harus disusun berdasarkan kondisi sosial budaya masyarakat.
Kurikulum disusun bukan hanya harus berdasarkan nilai, adat istiadat,
cita-cita dari masyarakat, tetapi juga harus berlandaskan semua dimensi
kebudayaan.
2. Karena kondisi sosial budaya senantiasa berubah dan berkembang
sejalan dengan perubahan masyarakat. Maka kurikulum harus disusun dengan
memperhatikan unsur fleksibilitas dan bersifat dinamis, sehingga
kurikulum tersebut senantiasa relevan dengan masyarakat. Konsekuensi
logisnya, pada waktunya perlu diadakan perubahan dan revisi kurikulum,
sesuai dengan perkembangan dan perubahan sosial budaya yang ada pada
saat itu.
3. Program kurikulum harus disusun dan mengandung materi sosial budaya
dalam masyarakat. Ini bukan hanya dimaksudkan untuk membudayakan anak
didik, tetapi sejalan dengan usaha mengawetkan kebudayaan itu sendiri.
4. Kurikulum di sekolah harus disusun berdasarkan kebudayaan nasional
yang berlandaskan pada falsafah pancasila, yang mencakup perkembangan
kebudayaan daerah. Integrasi kebudayaan nasional akan tercermin dalam
isi dan organisasi kurikulum, karena sistem pendidikan kita bermaksud
membudayakan anak didik berdasarkan kebudayaan masyarakat dan bangsa
kita sendiri.
D. Analisis
Pendidikan merupakan suatu proses sosial karena berfungsi
memasyarakatkan anak didik melalui proses sosialisasi di dalam
masyarakat tertentu. Sekolah sebagai salah satu institusi pendidikian,
berperan juga sebagai institusi sosial, karena melalui lembaga tersebut
anak dipersiapkan untuk mampu terjun dan aktif dalam kehidupan
masyarakatnya kelak.
Anak-anak berasal dari masyarakat. Mereka belajar tentang cara hidup
dalam masyarakat. Oleh karena itu program sekolah harus disusun dan
diarahkan oleh masayarakat. Ini berarti kurikulum harus disusun
berlandaskan dasar sosiologis.
Teori-teori yang berkembang mengenai Landasan sosiologis Pengembangan
Kurikulum, tidak ada satupun yang menyinggung adat istiadat. Mereka
lebih cenderung mencampur adukan antara pengertian budaya dengan adat
istiadat. Sebenarnya kalau kita cermati, pengertian budaya dan adat
istiadat sedikit banyak mempunyai perbedaan. Misalnya sering kita
dengarkan “Sebuah Kurikulum harus mempunyai landasan budaya dan adat
istiadat setempat”. Kalau kita cermati kata-kata tersebut, maka akan
dapat kita ketahui dengan jelas, bahwa adat istiadat dan budaya
mempunyai pengertian yang berbeda.
Berbicara masalah kebudayaan dan adat istiadat sebagai landasan sebuah
kurikulum, maka sudah seyogyanya sebuah kurikulum yang disusun oleh
pemerintah atau pemegang kebijakan harus berpedoman dengan pancasila dan
UUD 1945, yang menjadi menarik adalah ketika budaya dalam suatu
komunitas (masyarakat), dikatakan tidak dapat diterima oleh masyarakat
yang lain, maka solusi apa yang pantas untuk kita terapkan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kesimpulannya, Implikasi kemasyarakatan dalam pengembangan kurikulum dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Sekolah adalah suatu institusi sosial yang didirikan dan
diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, kurikulum
sebaiknya mempertimbangkan segi sosiologis ini, baik dalam perencanaan,
pelaksanaan maupun perbaikan kurikulum.
b. Masyarakat adalah suatu sistem sosial yang meliputi berbagai
komponen, yakni subsistem kepercayaan, nilai-nilai, kebutuhan dan
permintaan. Masing-masing komponen berpengaruh terhadap penyusunan dan
pengembanagan kurikulum, sehingga relevan dengan kondisi sosiologis
masyarakat.
c. Di dalam masyarakat terdapat beragam lembaga sosial yang
masing-masing memiliki kekuatan, baik kekuatan potensial, strategis dan
riil. Semua kekuatan tersebut memberi pengaruh dan patut untuk
dipertimbangkan dalam pembinaan dan pengembangan kurikulum, sehingga
kurikulum sejalan dengan sifat dinamis dalam masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
DEPDIKBUD. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Hamalik, Oemar. 2011. Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum. Bandung: Remaja Rosdakarya
.
Idi, Abdullah. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik. Jogjakarta: Ar-ruz Media
Nurdin, Syarifudin. 2003. Guru Profesional dan Implementasi Kurikulum.. Jakarta : Ciputat Press.
Sukmadinata, Nana Syaodih. 2010. Pengembangan kurikulum teori dan praktek. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
[1][1]
Takrif (definisi) sebuah istilah sangat membantu kita untuk memahami
permasalahan yang akan kita telaah. Hal ini sesuai dengan prinsip dari
filsafat ilmu pengetahuan yang menghendaki adanya tiga ranah, yaitu
ontology, epistemology dan aksiologi. Lihat, Abdul Khobir, Filsafat
Pendidikan Islam.
[2] DEPDIKBUD, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), hlm. 493.
[3] Ibid, hlm. 855
[4]Ibid, hlm.415
[5] Ibid, hlm. 479
[6] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan kurikulum teori dan praktek, (remaja rosda krya bandung 2010) hlm. 58
[7]Dari beberapa literature, para penulis lebih suka menggunakan istilah “Sosial Budaya” daripada istilah “sosiologis”.
Hal ini agaknya dipengaruhi oleh beberapa factor diantaranya bahwa
kebudayaan tidak bisa disamakan atau paling tidak berbeda dengan sosial.
(lihat KBBI bedakan antara makna budaya dan makna sosial)
[8] Op.Cit, hlm. 59.
[9] Oemar Hamali, Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum, ed. Boike Ramadhani, (Bandung:Remaja Rosdakarya, 2011), hlm. 79
[10] Abdullah Idi, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik, (Jogjakarta: Ar-ruz Media, 2011), 97-98.
[11]
Ibid, hlm 97-98. Lihat juga syarifudin Nurdin, Guru Profesional dan
Implementasi Kurikulum, (Jakarta : Ciputat Press, 2003) cet:2, hlm. 78
[12] Op.Cit, hlm. 80
[13] Lihat penjabarannya di Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum, karya Oemar Hamalik, hlm. 87-91
Sumber: http://pekalonganbatiktv.blogspot.com/2013/04/landasan-sosiologis-pengembangan.html
Posting Komentar