Judul : Masihkah PKS Bermasa Depan?
Penulis : Erwyin Kurniawan
Penerbit: Maghfirah Pustaka – Jakarta
Tebal : 128 Hlm ; 14x20 cm
Cetakan : I, Maret 2013
ISBN : 978-979-25-2609-7
Dalam setiap medan perjuangan, pasti terdapat onak duri. Selain itu,
riak, gelombang dan badai pun turut menyertai derap langkah perjuangan
itu sendiri. Hal ini pula
yang menjadi alasan mengapa jumlah pejuang selalu lebih sedikit dari
mereka yang berpangku tangan. Karena tabiat terjalnya jalan perjuangan
memang tak mudah untuk dilalui.
Sehingga, para pejuang itu bukanlah sosok yang lemah apalagi manja.
Ketika perjuangan sudah memasuki ranah politik,
maka godaan dan uji di dalamnya semakin dahsyat. Bukan hanya tentang
harta, tahta atau wanita. Jika melalui perjuangan di medan ini, maka
siapapun harus merelakan satu-satunya nyawa yang dimilikinya. Menjadi
wajar, karena politik dipersepsikan sebagai rimba raya. Siapa kuat, dialah yang menang. Tak peduli kawan atau lawan. Selama beda kepentingan, maka dialah musuh. Pun, sebaliknya.
Rimba politik inilah yang akhirnya dilalui oleh PKS sebagai partai
transformasi dari gerakan dakwah. Dengan segala optimismenya, mereka
berupaya sekuat tenaga untuk memperjuangkan semua kepentingan yang
diusungnya. Berbekal semangat berbagi dan menebar manfaat, aktivis
dakwah yang awalnya kalem, santun dan pendiam, akhirnya masuk ke
gelanggang parlemen yang dihuni banyak bajingan, mafia dan sejenisnya.
Hal ini, mempunyai dua makna yang bertolak belakang. Bisa jadi, PKS akan
bisa memengaruhi kebobrokan parlemen sehingga menjadi baik. Atau
sebaliknya, terpengaruhi hingga kemudian menjadi sama dengan anggota
dari parpol lainnya.
Meskipun, sejauh ini, PKS tetaplah beda. Bukan bermaksud mengunggulkan,
tapi memang beginilah tabiat kader dan qiyadahnya. Hal ini bisa difahami
karena memang partai ini dilahirkan dari rahim pergerakan dakwah dengan
misi menyebarkan rahmat Islam bagi semesta. Bukan hanya kaum muslimin, tapi juga yahudi, nasrani dan agama lainnya.
Sejarah sudah membuktikan. Ketika Islam berkuasa, kedamaian dan
kesejahteraan adalah hal murah meriah yang bisa dinikmati dan didapati
di mana saja.
Sebagai partai Islam, PKS memiliki aneka rupa perbedaan dibanding
lainnya. Mungkin, hal ini terdapat juga di partai lain. Tapi memang, tak
semassif yang ada di PKS. Hal ini terjadi karena rahim yang melahirkan
PKS adalah tarbiyah. Sebuah proses pembinaan individu muslim agar mengetahui kesejatian dirinya.
PKS beda karena qiyadah dan kadernya bertemu sepekan sekali dalam
halaqoh pembinaan. Di dalamnya, mereka membahas tentang al-Qur’an,
sirah, dan ajaran Islam lainnya. Mereka juga dievalusi tentang kualitas
dan kuantitas ibadahnya. Mulai dari tilawah berapa juz sehari, seberapa
sering mendatangi shalat berjama’ah di masjid, silaturahim kepada sesama
kader dan masyarakat luas, infaq, shalat tahajud, dhuha, dan
seterusnya.
Dipastikan, seorang pemimpin halaqoh yang mafhum disebut murobbi, mengetahui dengan detail tentang binaannya. (h. 84)
PKS beda karena menjadi sorotan media.
Baik cetak, online maupun massa. Jika mau sedikit mengamati,
pemberitaan tentang PKS ketika ada satu kadernya yang ditersangkakan
oleh KPK, bisa mengalahkan pemberitaan puluhan bahkan ratusan kader
partai lain, dengan sangkaan yang lebih berat. Sehingga, imej bahwa PKS
selalu salah, sudah tertanam kuat dalam benak insan media, juga
masyarakat tak cerdas yang hanya hobi mengkonsumsi siaran di layar kaca.
PKS beda dari segi pergantian kepengurusan. Jika di partai lain ada
pemilihan ketua umum dengan biaya milyaran rupiah, adu jotos, lempar
kursi dan adegan anarkis lainnya, di PKS hal itu sama sekali tidak
terjadi. Ketika Presiden Partai menjadi pejabat publik, hanya dalam
hitungan jam sudah diumumkan penggantinya. Ketika ada Pemira, calon yang
diajukan pun tidak mengetahui jika dirinya termasuk kandidat. Selepas
terpilih, mereka berangkulan seperti tidak terjadi apa-apa.
Meski versi hitungan cepat suara PKS kalah dengan partai lain, mereka
tetaplah partai yang selalu peduli. Dengan terus menebar cinta dalam
kerjanya, hingga terwujud harmoni di Indonesia yang kita cintai ini.
Jika partai pemenang pemilu akan serta merta meninggalkan konstituennya
selepas pemilu, maka PKS selalu setia setiap saat. Inilah yang
menjelaskan bahwa mereka memiliki nafas perjuangan yang relatif panjang
jika dibandingkan dengan partai lain.
Satu pertanyaan penting, masihkah PKS bermasa depan? Dalam bukunya ini,
penulis menyampaikan bahwa dengan modal yang dimiliki PKS, cukuplah
menjadi amunisi bagi mereka untuk terus bertahan dan bersiap-siaga.
Jika PKS ingin tetap bermasa depan, ada delapan langkah yang harus dimiliki dan terus menerus diperbarui.
Pertama, niat. Niat yang benar pasti menghasilkan sesuatu yang benar
pula. Dua, introspeksi diri. Tak ada yang sempurna. Merasa paling benar
adalah penyakit akut yang membuat seorang terjerumus dalam lubang
kesombongan. Tiga, taat kepada pemimpin. Tentu, ketaatan karena faham.
Bukan taqlid, fanatik atau membela membabi buta. Karena ketaatan total,
hanya untuk Allah, Rasul-Nya dan Islam. Empat, sabar dan siap siaga.
Pejuang tak boleh berpangku tangan atau berongkang kaki. Dia harus
bersabar dengan terus bergerak. Karena diam adalah sumber dari segala
jenis penyakit.(h. 27-28)
Lima, berteguh hati. Teguh berarti menguatkan kesabaran. Karena sabar
adalah jalan panjang yang tak ada ujungnya. Enam, berserah diri. Sehebat
apapun upaya makhluk, Kholik-lah penentunya. Maka, selepas upaya
maksimal, menyerahkan semuanya kepada Allah adalah kunci keberhasilan
perjuangan. Tujuh, hindari perselisihan. Jika dalam sebuah rumah tangga
perselisihan bisa memicu perceraian antara anggotanya, maka begitu pula
yang akan terjadi jika masing-masing anggota dalam sebuah jama’ah
bercerai berai. Delapan, doa dan dzikir. Doa adalah cara untuk
menenangkan diri. Karena di atas kita, ada Allah Yang Mahakuasa.
Sementara dzikir merupakan cara paling mudah untuk mengambil kekuatan
dari langit agar kokoh di bumi. (h. 28-29)
Dengan delapan langkah ini, tak berlebihan jika PKS kemudian menjadi masa depan bagi Indonesia. Mungkinkah?

Penulis : Pirman
Redaktur Bersamadakwah.com

Posting Komentar