Syariat mewajibkan kepada suami untuk memenuhi kebutuhan istrinya
yang berupa kebutuhan material seperti nafkah, pakaian, tempat tinggal,
pengobatan dan sebagainya, sesuai dengan kondisi masing-masing, atau
seperti yang dikatakan oleh Al-Qur’an “bil ma’ruf” (menurut cara yang
ma’ruf/patut).
Namun syariat tidak pernah melupakan akan kebutuhan-kebutuhan spiritual
yang manusia tidaklah bernama manusia kecuali dengan adanya
kebutuhan-kebutuhan tersebut, sebagaimana kata seorang pujangga kuno:
“Maka karena jiwamu itulah engkau sebagai manusia, bukan cuma dengan
badanmu.”
Bahkan Al-Qur’an menyebut perkawinan ini
sebagai salah satu ayat di antara ayat-ayat Allah di alam semesta dan
salah satu nikmat yang diberikan-Nya kepada hamba-hamba-Nya.
Firman-Nya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu
rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS Ar Rum: 21)
Ayat ini menjadikan sasaran atau tujuan hidup bersuami istri ialah
ketenteraman hati, cinta, dan kasih sayang antara keduanya, yang semua
ini merupakan aspek kejiwaan, bukan material. Tidak ada artinya
kehidupan bersuami istri yang sunyi dari aspek-aspek maknawi ini,
sehingga badan berdekatan tetapi ruh berjauhan.
Dalam hal ini banyak suami yang keliru—padahal diri mereka sebenarnya
baik—ketika mereka mengira bahwa kewajiban mereka terhadap istri mereka
ialah memberi nafkah, pakaian, dan tempat tinggal, tidak ada yang lain
lagi. Dia melupakan bahwa wanita (istri) itu bukan hanya membutuhkan
makan, minum, pakaian, dan lain-lain kebutuhan material, tetapi juga
membutuhkan perkataan yang baik, wajah yang ceria, senyum yang manis,
sentuhan yang lembut, ciuman yang mesra, pergaulan yang penuh kasih
sayang, dan belaian yang lembut yang menyenangkan hati dan menghilangkan
kegundahan.
Imam Ghazali mengemukakan sejumlah hak suami istri dan adab pergaulan
di antara mereka yang kehidupan berkeluarga tidak akan dapat harmonis
tanpa semua itu. Di antara adab-adab yang dituntunkan oleh Al-Qur’an dan
Sunnah itu ialah berakhlaq yang baik terhadapnya dan sabar dalam
menghadapi godaannya.
Allah berfirman: “… Dan gaulilah mereka (istri-istrimu) dengan cara yang ma’ruf (patut)…” (QS An Nisa’: 19)
“… Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (QS An Nisa’: 21)
“… Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak, karib kerabat,
anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga
yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahayamu…” (QS An Nisa’: 36)
Ada yang menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan “teman sejawat” dalam
ayat di atas ialah istri. Imam Ghazali berkata, “Ketahuilah bahwa
berakhlaq baik kepada mereka (istri) bukan cuma tidak menyakiti mereka,
tetapi juga sabar menerima keluhan mereka, dan penyantun ketika mereka
sedang emosi serta marah, sebagaimana diteladankan Rasulullah SAW.
Istri-istri beliau itu sering meminta beliau untuk mengulang-ulangi
perkataan, bahkan pernah ada pula salah seorang dari mereka menghindari
beliau sehari semalam.
Beliau pernah berkata kepada Aisyah, “Sungguh, aku tahu kalau engkau marah dan kalau engkau rela.”
Aisyah bertanya, “Bagaimana engkau tahu?”
Beliau menjawab, “Kalau engkau rela, engkau berkata, ‘Tidak, demi
Tuhan Muhammad,’ dan bila engkau marah, engkau berkata, ‘Tidak, demi
Tuhan Ibrahim.’
Aisyah menjawab, “Betul, (kalau aku marah) aku hanya menghindari menyebut namamu.”
Dari adab yang dikemukakan Imam Ghazali itu dapat ditambahkan bahwa
di samping bersabar menerima atau menghadapi kesulitan istri, juga
bercumbu, bergurau, dan bermain-main dengan mereka, karena yang demikian
itu dapat menyenangkan hati wanita. Rasulullah SAW biasa bergurau
dengan istri-istri beliau dan menyesuaikan diri dengan pikiran mereka
dalam bertindak dan berakhlaq, sehingga diriwayatkan bahwa beliau pernah
melakukan perlombaan lari cepat dengan Aisyah.
Umar bin Al-Khathab—yang dikenal berwatak keras itu—pernah berkata,
“Seyogianya sikap suami terhadap istrinya seperti anak kecil, tetapi
apabila mencari apa yang ada di sisinya (keadaan yang sebenarnya) maka
dia adalah seorang laki-laki.”
Dalam menafsirkan hadits: “Sesungguhnya Allah membenci alja’zhari
al-jawwazh,” dikatakan bahwa yang dimaksud ialah orang yang bersikap
keras terhadap istri (keluarganya) dan sombong pada dirinya. Dan ini
merupakan salah satu makna firman Allah: ‘utul. Ada yang mengatakan bahwa lafal ‘utul berarti orang yang kasar mulutnya dan keras hatinya terhadap keluarganya.
Keteladanan tertinggi bagi semua itu ialah Rasulullah SAW. Meski
bagaimanapun besarnya perhatian dan banyaknya kesibukan beliau dalam
mengembangkan dakwah dan menegakkan agama, memelihara jamaah, menegakkan
tiang daulah dari dalam dan memeliharanya dari serangan musuh yang
senantiasa mengintainya dari luar, beliau tetap sangat memperhatikan
para istrinya. Beliau adalah manusia yang senantiasa sibuk berhubungan
dengan Tuhannya seperti berpuasa, shalat, membaca Al-Qur’an, dan
berdzikir, sehingga kedua kaki beliau bengkak karena lamanya berdiri
ketika melakukan shalat lail, dan menangis sehingga air matanya
membasahi jenggotnya.
Namun sesibuk apa pun beliau tidak pernah melupakan hak-hak
istri-istri beliau yang harus beliau penuhi. Jadi aspek-aspek Rabbani
tidaklah melupakan beliau terhadap aspek insani dalam melayani mereka
dengan memberikan makanan ruhani dan perasaan mereka yang tidak dapat
terpenuhi dengan makanan yang mengenyangkan perut dan pakaian penutup
tubuh.
Dalam menjelaskan sikap Rasulullah dan petunjuk beliau dalam
mempergauli istri, Imam Ibnu Qayyim berkata, “Sikap Rasulullah SAW
terhadap istri-istrinya ialah bergaul dan berakhlaq baik kepada mereka.
Beliau pernah menyuruh gadis-gadis Anshar menemani Aisyah bermain.
Apabila istrinya (Aisyah) menginginkan sesuatu yang tidak terlarang
menurut agama, beliau menurutinya. Bila Aisyah minum dari suatu bejana,
maka beliau ambil bejana itu dan beliau minum daripadanya pula dan
beliau letakkan mulut beliau di tempat mulut Aisyah tadi (bergantian
minum pada satu bejana/tempat), dan beliau juga biasa makan kikil
bergantian dengan Aisyah.”
Beliau biasa bersandar di pangkuan Aisyah, beliau membaca Al-Qur’an
sedang kepala beliau berada di pangkuannya. Bahkan pernah ketika Aisyah
sedang haidh, beliau menyuruhnya memakai sarung, lalu beliau
memeluknya. Bahkan pernah juga menciumnya, padahal beliau sedang
berpuasa.
Di antara kelemah-lembutan dan akhlaq baik beliau lagi ialah beliau
memperkenankan istrinya untuk bermain dan mempertunjukkan kepadanya
permainan orang-orang Habsyi ketika mereka sedang bermain di masjid, dia
(Aisyah) menyandarkan kepalanya ke pundak beliau untuk melihat
permainan orang-orang Habsyi itu. Beliau juga pernah berlomba lari
dengan Aisyah dua kali, dan keluar dari rumah bersama-sama.
Sabda Nabi SAW, “Sebaik-baik kamu ialah yang paling baik terhadap
keluarganya, dan aku adalah orang yang paling baik terhadap keluargaku.”
Apabila selesai melaksanakan shalat Ashar, Nabi senantiasa
mengelilingi (mengunjungi) istri-istrinya dan beliau tanyakan keadaan
mereka, dan bila malam tiba beliau pergi ke rumah istri beliau yang pada
waktu itu mendapat giliran. Aisyah berkata, “Rasulullah SAW tidak
melebihkan sebagian kami terhadap sebagian yang lain dalam pembagian
giliran. Dan setiap hari beliau mengunjungi kami semuanya, yaitu
mendekati tiap-tiap istri beliau tanpa menyentuhnya, hingga sampai
kepada istri yang menjadi giliran beliau, lalu beliau bermalam di
situ.”
Kalau kita renungkan apa yang telah kita kutip di sini mengenai
petunjuk Nabi SAW tentang pergaulan beliau dengan istri-istri beliau,
kita dapati bahwa beliau sangat memperhatikan mereka, menanyakan keadaan
mereka, dan mendekati mereka. Tetapi beliau mengkhususkan Aisyah
dengan perhatian lebih. Namun ini bukan berarti beliau bersikap pilih
kasih, tetapi karena untuk menjaga kejiwaan Aisyah yang beliau nikahi
ketika masih perawan dan karena usianya yang masih muda.
Beliau menikahi Aisyah ketika masih gadis kecil yang belum mengenal
seorang laki-laki pun selain beliau. Kebutuhan wanita muda seperti ini
terhadap laki-laki lebih besar dibandingkan dengan wanita janda yang
lebih tua dan telah berpengalaman. Yang kami maksudkan dengan kebutuhan
di sini bukan sekadar nafkah, pakaian, dan hubungan biologis saja.
Bahkan kebutuhan psikologis dan spiritualnya lebih penting dan lebih
dalam daripada semua itu. Karena itu, tidaklah mengherankan jika kita
lihat Nabi SAW selalu ingat aspek tersebut dan senantiasa memberikan
haknya serta tidak pernah melupakannya meskipun tugas yang diembannya
besar, seperti mengatur strategi dakwah, membangun umat, dan menegakkan
daulah.
“Sungguh pada diri Rasulullah itu terdapat teladan yang bagus bagi kamu.” Maha Benar Allah dengan segala firman-Nya.
—
Sumber: Fatwa-Fatwa Kontemporer, DR. Yusuf Qaradhawi
(RoL)

Posting Komentar