Pertengahan tahun 2002
Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan?
Bagi
sebagian orang mungkin bukan hal yang ‘wah’. Tapi bagi Indra, bisa
duduk di bangku kuliah merupakan suatu hal yang luar biasa. Dulu,
mungkin itu hanya mimpi baginya. Tapi lihatlah, betapa indah rencana
Allah.
Maka nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang engkau dustakan?
Indra
terus mengulang-ulang ayat ini dikala apa yang ia harapkan belum bisa
dicapai. Karena mungkin terlalu banyak nikmat yang belum sempat
disyukuri. Sehingga, Allah menangguhkan nikmat lainnya. Karena Ia tidak
ingin hamba-Nya menjadi orang yang kufur nikmat.
Maka, nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang engkau dustakan?
“Woiiii, melamun aja!!!” tiba-tiba Panji menepuk punggung Indra dari belakang.
“Barakallah akhi, semoga menjadi keluarga yang samarada alias sakinah mawaddah warahmah dan dakwah. Komplit itu baru mantap,” ucap Indra spontan untuk menutupi kegugupannya.
Alhamdulillah
luar biasa, Panji memang hebat. Di usia yang masih cukup belia dia
sudah berani meminang seorang akhwat yang usianya terpaut cukup jauh,
lima tahun. Tapi, bukannya Indra tidak sehebat Panji. Walau mereka masih
duduk di semester tiga. Indra juga sudah berkeinginan untuk menikah.
Tapi ia belum cukup berani melangkah. Profesinya yang hanya sebagai guru
ngaji dan marbot masjid membuat nyalinya benar-benar ciut.
Indra hanya bisa berharap, suatu saat ia akan merasakan kebahagiaan yang
sama seperti Panji.
Indra bertekad bahwa tiada hari tanpa shalat
Hajat. Ia kencangkan amalnya. Doanya, “Ya Allah, izinkan hamba lulus
tepat waktu dan segera memiliki ma’isyah. Ya Allah, jadikan
hidup hamba yang singkat ini penuh manfaat. Jangan jadikan hamba beban
bagi siapa pun. Ya Allah, berilah hamba istri shalihah sebagai teman
berjihad di jalan-Mu, aamiin.” Sejak saat itu, doa ini selalu menghiasi
shalatnya. Bisiknya dalam hati, “My dream must be comes true,” dan Mushalla yang menjadi tempat tinggal Indra ini menjadi saksi bisu. Karena ia yakin, someone in somewhere still waiting for him. Dan Indra tidak akan membiarkannya menunggu terlalu lama.
Oktober 2004
Alhamdulillah,
selangkah lebih maju menuju si wajah imut yang belum bernama. Hari ini,
Indra akan diwisuda tepat waktu. Walau hanya ditemani oleh adiknya,
tapi ia tetap bersyukur. Menikmati momen wisuda yang ia perjuangkan dan
ini menjadi bukti bahwa Indra benar-benar selangkah lebih maju menuju si
wajah imut yang sudah ia rindui sejak dua tahun yang lalu.
Lelah
perjalanan dalam bus selama 8 jam terbayar sudah. Berkumpul dengan
keluarga adalah nikmat yang menjadi obat lelah badan. Indra ingin
berbagi kebahagiaan atas wisudanya dengan keluarganya di kampung
halaman.
“Sudah wisuda, Ndra? Sudah kerja?”, tanya seorang sahabat
sewaktu SMA dulu. Melihat Indra hanya menyunggingkan senyum, ia paham
dan langsung menawari Indra untuk bekerja di CVnya yang letaknya cukup
jauh di pedalaman. Meski awalnya Indra ragu, ia yakin setiap tempat yang
Allah persembahkan untuknya adalah jalan untuk lebih dekat dengan si
wajah imut, “Siapa yang tahu kalau si wajah imut itu ternyata bermukim
di tengah hutan? Hahahahaha.” Indra menertawakan diri sendiri.
Akhir November 2004
Mungkin
memang terlalu cepat untuk memberi kesimpulan. Tapi, hampir dua bulan
berada di sini, bekerja di tengah hutan rimba ternyata membuat Indra
tidak nyaman. Entah kenapa, ia merasa kalau tetap berada di sini, si
wajah imut yang dinanti kian menjauh.
Beruntung, di tengah
kegelisahannya, seorang paman menawari bekerja di sebuah proyek
pertambangan migas di kampung asalnya yang sudah lama ditinggalkan sejak
ia berusia empat tahun. “Mungkin, ini bagian dari skenario Allah bagiku
untuk menuju si wajah imut. Heehee. Lagi-lagi, si wajah imut.” Indra
tersenyum penuh keyakinan. Karena ayah dan ibunya juga memberikan support penuh. Dengan Bismillah, ia berangkat.
Desember 2004
Jangan
tanya Indra bekerja sebagai apa? Karena kerjanya adalah sebagai
pembersih roda alat berat. Jangan tanya semangatnya. Karena semangatnya
luar biasa. Ia yakin, bahwa dirinya sampai di sini karena takdir. Yaitu
takdir yang akan mempertemukannya dengan si wajah imut. Lebay. Indra benar-benar menunjukkan kesungguhannya untuk mengumpulkan ma’isyah agar segera menjemput si wajah imut. Apapun ia kerjakan, asalkan halalan thayyiban, maju terus.
Akhir Januari 2005
Mungkin, ini ujian pertama bagi Indra untuk menuju si wajah imut. Di tengah-tengah semangat mencari ma’isyah
dan keyakinan bahwa di sinilah tempatnya mendapatkan ‘aisyah ‘si wajah
imut’nya pupus sudah. Indra dan beberapa rekannya ternyata direkrut
hanya untuk mengejar target saja. Kini, amplop yang berada di
genggamannya berisikan gaji pertama dan terakhir sama sekali tidak
membuatnya bergairah. Ia nelangsa. Rapuh.
Indra benar-benar
bingung, apa yang harus ia lakukan sekarang? Ia malu kalau harus pulang
kampung dengan tangan kosong. Maka, jadilah ia “si Cicak” masjid yang
siang malamnya selalu di masjid. Ia mulai mengevaluasi diri, amalnya dan
niatnya. Indra pulang ke kostnya hanya untuk keperluan makan. Bahkan,
di hari Senin dan Kamis, ia berpuasa dan menghabiskan harinya di masjid.
Karena ia benar-benar ingin bertaqarrub dengan Tuhannya.
***
Akhirnya, Indra memutuskan untuk berjaulah ke
kota yang tempatnya hanya berjarak satu jam dari tempat proyek. “Allah,
betapa indah rencana-Mu. Selangkah kudatang, berlari Kau mendekatiku.”
Indra menemukan kembali markas dakwah yang sebenarnya juga sangat ia
rindui. Mulai saat itu, ia kembali mengikuti kajian mingguan. Lingkaran
cinta yang lama terputus, sekarang kembali ia rajut. Tekadnya bulat. Ia
harus lebih baik dari kemarin dengan membuat rekam jejak dakwah di
manapun kaki berpijak. Karena hidup terlalu singkat hanya untuk dunia.
Awal April 2005
Dua
bulan sudah Indra menjadi pengangguran terdidik. Sedih? Pasti. Tapi, ia
yakin akan rencana-Nya. Ia tetap memaksimalkan hari-harinya dengan
mengajar tahsin beberapa karyawan di salah satu perusahaan di kota yang sama. Para peserta tahsin mencoba
memberikan Indra honor. Tapi, ia menolak karena niat awalnya hanyalah
dakwah. Untuk berbagi ilmu dan membumikan al-Qur’an. Walau pada awalnya
Indra hampir tergoda karena memang membutuhkan uang untuk sekedar
menopang hidup di perantauan.
Para peserta tahsin tidak
diam begitu saja melihat penolakan Indra atas honor yang mereka berikan.
Mereka tetap mencoba memberikan ‘sesuatu’ yang sangat dibutuhkan oleh
guru mereka, Indra.
“Ndra, aku sudah berbicara dengan bagian
Personalia. Kebetulan, kami sedang membutuhkan tenaga IT. Bersediakah?”
Ucap teman dekatnya yang juga binaan tahsin.
Tanpa basa basi, Indra menganguk pasti.
“Alhamdulillah, harapan itu masih ada.” batinnya mengucap syukur.
“Tapi, kita masih tetap rutin tahsin mingguan, kan?” ucap Hendri penuh tanya.
“Yoi, Bro. Itu pasti selama nafas masih berhembus.” jawab Indra dengan senyum penuh kelegaan.
Tidak
menunggu waktu lama, keesokan harinya, tepat 4 april 2005 Indra resmi
menjadi salah satu karyawan di salah satu perusahaan sebagia IT support.
Dengan senyum penuh bahagia, ia tatap hangatnya sinar mentari Dhuha
dengan berucap penuh percaya diri, “Ya Allah, saksikanlah bahwa aku akan
segera menjemput si wajah imut sebagai teman untuk berjihad di
jalan-Mu”. Proposal yang berisikan biodatanya pun ia layangkan. Berharap
terbang tepat ke si wajah imut yang dinanti.
Maka, nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang engkau dustakan?
24 April 2005
Sore
itu, Indra duduk agak gelisah di pelataran masjid bertemankan belaian
angin yang membuat rerumputan bergoyang lembut berirama, indah dipandang
dan sejuk terasa. Ia sedang menunggu Murabbinya dengan sesuatu yang
akan mendekatkannya dengan si wajah imut.
“Assalamualaikum, akh,” tiba-tiba sang Murabbi sudah duduk di sebelah Indra.
“Wa’alaikumsalam, ustadz.” jawabnya dengan senyum, sedikit gugup
Tanpa basa basi, Ustadz Rafiq langsung memberikan tausyiah untuk Indra guna memantapkan niatnya menggenapkan separuh diin, “Menikah
bukan hanya menyatukan dua insan, tapi dua keluarga besar. Menikah
bukan hanya soal cinta, tapi membentuk batu bata pertama suatu
peradaban. Menikah bukan hanya soal mencari pasangan hidup, tapi
ingatlah bahwa ia nanti akan menjadi madrasah pertama anak-anakmu. Jika
ia baik, maka baiklah generasi selanjutnya. Jika ia buruk, maka buruklah
generasi selanjutnya.” Singkat, namun penuh makna. Sebelum berpamitan, Indra dititipkan amplop yang berisikan biodata seorang akhwat.
Indra
menatap Ustadz Rafiq hingga berlalu. Amplop yang sekarang berada di
tangannya dipeluk erat. Seolah tak ada seorang pun yang boleh
merebutnya. Di dalam bus perjalanan pulang yang kebenaran kosong, dengan
debaran jantung yang mengalahkan deru suara bus yang melaju kencang,
Indra membuka amplop dengan bismillah. Indra memejamkan mata
sembari menyingkirkan foto berukuran 3×4, lalu ia buka mata sambil
menyelami huruf demi huruf yang tertara rapi di atas kertas double folio.
“Mmmmm….. Tulisannya rapi. Namanya cantik. Secantik orangnya, gak ya?” batinnya terus berburu. Sambil senyum-senyum sendiri, ia lanjutkan menelusuri baris demi baris tulisan.
“Usianya empat tahun lebih tua. OK, tidak masalah. Tamatan DIII, sama sepertiku. Anak kedua. Pas banget nich, karena aku anak pertama, sukunya? Mmmm, meski berbeda jauh, asalkan tarbiyah aku yakin itu semua bisa diatasi. Awal mulai tarbiyah kok bisa sama juga ya? Waahhhh, kayaknya ini memang jodohku deh.
Kriteria yang dicari sepertinya aku bisa memenuhinya.” Batinnya penuh
dengan kepercayaan diri yang tinggi. Dengan seyum yang masih tetap
mengembang. Beruntung, sekali lagi beruntung. Penumpang bus ini hanya
Indra seorang. Kalau tidak, bisa-bisa dikara orang gila beneran.
Dan, inilah sesi terakhir dari penelusurannya. Indra harus melihat fotonya.
“Ya Allah… Dadaku semakin sesak. Debaran jantungku kian tak beraturan. Masya
Allah… Aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Aku jatuh cinta pada pas
foto hitam putih berukuran 3×4 ini. Aku yakin, dia orang yang cantik.
Sangat cantik.” Indra terus tersenyum bahagia. Akhirnya si wajah imut
yang dinanti sekarang sudah di depan mata.
Akhir Mei 2005
“Ndra,
jangan lupa. Kuatkan dengan istikharah minimal dalam dua minggu ini.”
ucap Murabbi Indra dengan penuh kasih sayang. Dan hari-hari berikutnya,
ia lalui dengan doa yang sedikit memaksa, “Ya Allah, jodohkanlah aku
dengan dia.” penggalan doa ini tak pernah absen dari tiap shalat yang
Indra lakukan.
Indra benar-benar jatuh cinta. Ke mana-mana, amplop
berisi biodata itu ia bawa. Bahkan pada saat tidur pun, ia letakkan di
samping bantalnya, “Apakah cinta memang bisa membuat orang gila?
Entahlah….” gumamnya dalam hati. Indra telah jatuh cinta untuk pertama
kali dalam hidupnya.
Beberapa malam berlalu dengan sholat
istikharah yang tidak pernah terputus. Akhirnya, Indra bermimpi melihat
seorang perempuan dengan mengenakan mukenah putih sedang melakukan
shalat. Dan wajah itu, wajah yang dilihat dalam mimpi itu, begitu mirip
dengan wajah dalam pas foto 3×4. Keesokan harinya, dengan keyakinan
penuh dan kemantapan hati yang kokoh, ia memutuskan untuk melanjutkan
proses berikutnya, ta’aruf.
Awal Juni 2005
Hari
ini adalah hari yang paling membosankan bagi Indra. Ia tidak masuk
kerja bukan karena sakit, tapi karena malas. Ia merasa jenuh dengan
rutinitas kerjanya. Pergi saat matahari baru muncul dan pulang saat
matahari telah terbenam. Ia bosan. Semangatnya yang dulu menggebu-gebu
lenyap seketika. Shalat malamnya hilang. Saum Senin dan Kamisnya juga
hilang. Tilawahnya menurun.
Ia marah dengan dirinya sendiri. Kecewa dengan ketidakberdayaannya saat beberapa hari yang lalu Murabbinya mengatakan bahwa si akhwat mengundurkan
diri dan belum siap untuk proses selanjutnya. Indra ingin menggugatnya.
Ia ingin tahu alasan sebenarnya. Kalau itu karena persyaratan, ia akan
berusaha sampai titik kemampuan terakhir untuk memenuhinya. Tapi, tidak.
Tidak mungkin Indra melakukan itu semua. Karena itu adalah pilihan si akhwat berwajah
imut dan ia harus menghormatinya. Akhirnya, dengan berat hati dan
sedikit terpaksa, Indra mengembalikan biodata itu ke Murabbinya.
Seseorang yang belum pernah ia lihat batang hidungnya, telah mampu membuatnya patah hati untuk yang pertama kalinya.
Juli 2005
Luka
hatinya belum sembuh. Isi kepalanya hanya ada wajah pas foto hitam
putih 3×4 itu. Ia belum bisa lepas dari bayang-bayang si wajah imut. Dan
sekarang, sebuah amplop lain berisi biodata baru telah ia terima. Indra
hanya membacanya sekilas dan beberapa hari kemudian ia kembalikan
biodata itu ke Murabbinya.
“’Afwan ustadz. Saya gak nemuin feel
dengan akhwat di biodata itu.” jawabnya singkat saat ditanya alasannya
kenapa menolak. Ia tahu yang ia lakukan salah. Menolak dengan alasan
yang tidak syar’i itu tidak benar. Tapi, hatinya sudah terlanjur dipenuhi bayang-bayang wajah pas foto hitam putih.
Namun,
niat awalnya untuk segera menikah demi menjaga kehormatan diri juga
tidak bisa ia tunda terlalu lama. Akhirnya, seminggu kemudian Indra
kembali ke Murabbinya. Meminta agar dicarikan kembali seorang akhwat yang kira-kira cocok untuknya.
“Kali ini adalah yang terakhir. Jika tidak ada alasan syar’i, gak boleh nolak ya?” ucap Murabbinya dengat
tegas. Namun, Indra lupa untuk kembali meluruskan niatnya dan
memperbaiki visi misinya untuk menikah. Ia lupa untuk melupakan wajah
dalam pas foto itu. Ia lupa untuk setidaknya menyingkirkan bayang-bayang
itu.
Akhirnya, biodata baru ia terima kembali. Indra membacanya
dengan perlahan dan ia hampir pingsan saat mengetahui jarak usianya lima
tahun lebih tua. Ia langsung menolak. Tidak ada yang membuatnya
tertarik dengan biodata itu. Tapi, ia pun sudah kehabisan alasan untuk
mengembalikan proposal biodata itu, “Nggak banget deh
ini akhwat.” ucapnya dalam hati. Kali ini, Indra sudah mulai menilai
dari fisik. Ia hanya menilai dari sisi dunia tanpa mempertimbangkan sisi
akhirat yang seharusnya menjadi pertimbangan utama.
Kebetulan, ayah dan ibunya datang dari kampung. Ia pun meminta tanggapan orangtuanya tentang calon yang ditawarkan oleh Murabbinya,
“Ini lebih cocok jadi bibimu, daripada istrimu.” ucap ayahnya spontan.
Indra menganguk menyetujui ucapan ayahnya sambil berucap. “Setuju, Yah.
Heehee.”
Akhirnya, Indra mengajak ayah dan ibunya silaturahim ke rumah Murabbinya.
Dengan bantuan mereka, Indra bisa mengembalikan biodata itu dengan cara
yang halus. Dasar Indra otak kancil, “Astaghfirullah, astaghfirullah”
ucapnya berulang kali. Karena ia tahu, ia kembali melakukan kesalahan
yang sama: menolak tanpa alasan yang benar-benar syar’i.
Agustus 2005
Yah, wajar jika Murabbi Indra merasa kecewa. Dua proposal biodata berturut-turut ia tolak dengan alasan yang tidak syar’i.
Indra bukannya tidak tahu yang ia lakukan salah, tapi kecenderungan
terhadap si wajah imut yang terbingkai dalam pas foto 3×4 itu membuatnya
bersikap keterlaluan.
Sejak saat itu, Indra benar-benar kehilangan keberanian untuk menatap wajah Murabbinya.
Ia merasa bersalah atas sikap ketidakdewasaannya. Namun, lingkungan
kerja yang keras dan kebiasaan buruk rekan kerjanya yang suka ‘jajan’ di
luaran karena jauh dari keluarga, membuatnya terus berpikir keras
bagaimana menyelamatkan diri dari fitnah dan maksiat.
Ia mulai menata hatinya. Hari-harinya ia perbanyak dengan kembali memperkuat amal ibadah. Surah ar-Rahman, al-Waqiah dan al-Mulk menjadi konsumsi tambahan hariannya dan ia mulai meresapi arti dari surah-surah itu hingga harapannya muncul kembali. Indra kembali bersemangat dan mulai proaktif dalam menjemput si wajah imut yang dinanti.
Tiba-tiba, Indra teringat dengan seorang temannya waktu kuliah, Raihan. Raihan memiliki seorang adik perempuan yang insya Allah
shalihah. Yang sekarang sudah duduk di bangku kuliah semester tiga.
Dengan semangat dan keberanian yang maksimal, Indra menghubungi Raihan
untuk mengutarakan maksudnya agar bisa dita’arufkan dengan adiknya.
Tidak menunggu lama, Raina, Raihan, dan Murabbiyah Raina
menerima proposal Indra. Raina sebelumnya juga sudah mengenal Indra
sewaktu pertama kali memasuki dunia kampus. Indra juga yang mengajak
Raina untuk bergabung di barisan dakwah ini. Indra memang tidak salah
menilai Raina. Sekarang Raina tumbuh menjadi akhwat yang cerdas, cantik, dan menjadi mahasiswa teladan di kampusnya. Raina memang anak luar biasa dan Indra mulai mengaguminya.
Mendapatkan
lampu hijau dari orang terdekat Raina, dengan hati yang mulai
berbunga-bunga, Indra langsung menceritakan niatnya untuk segera
menikahi Raina kepada orang tuanya. Orang tua Indra pun setuju dan
mereka sangat bahagia. Akhirnya, Indra jauh melangkah lebih dekat dengan
si wajah imut yang dinanti.
7 Oktober 2005
Merasa
segala sesuatunya berjalan lancar, akhirnya Indra menceritakan semua
tentang Raina dan rencanya. Tidak ada yang ia sembunyikan. Walau ia
tahu, sang Murabbi pasti merasa kecewa dengan tindakannya yang sudah sejauh ini tanpa sedikitpun melibatkan Murabbinya.
Namun, Indra berjanji kepada Murabbinya untuk
menyegerakan pernikahannya. Agar tidak timbul fitnah di antara
keduanya. Ramadhan kali ini pun ia lalui dengan berjuta harap. Semoga
niat menjemput si wajah imut benar-benar terlaksana. Dan di bulan ini
juga, Raina akan meminta restu kepada orang tuanya. Agar setelah lebaran
sesuai rencana, mereka bisa menikah. Sungguh, hari demi hari yang ia
lalui terasa lebih lama. Tak sabar ia menanti hari bersejarah itu, yang
tinggal selangkah lagi.
27 Oktober 2005
Allah
sangat mencintai Indra. Ia kembali diuji. Rencana yang sudah ia
persiapkan matang-matang kembali harus dibatalkan. Orang tua Raina
ternyata memiliki pola pikir yang berbeda. Anggapan di kampung Raina,
bahwa nikah muda adalah hal yang negatif membuat orangtua Raina kekeh dengan pendiriannya untuk menolak rencana pernikahan mereka.
Bersyukur,
Indra masih sadar dengan posisinya sebagai aktifis dakwah. Ia tidak mau
berlama-lama dengan kondisi yang seperti ini. Dengan berat hati, Indra
memutuskan hubungannya dengan Raina untuk kebaikan bersama karena
menunggu Raina hingga wisuda memberi banyak potensi fitnah untuk
keduanya. Indra khawatir terjebak zina hati, jika harus menunggu selama
itu.
Tapi, meski patah hati untuk kedua kalinya, Indra tetap
merasa lega karena ia dengan berani mengambil keputusan yang tepat,
walau berat. Bagaimanapun juga, menjalin hubungan tanpa kejelasan status
sama halnya dengan pacaran. Darinya banyak potensi dosa yang akan
terlahir. Indra tidak terlalu merasakan sakit hati seperti saat pertama
kali patah hati. Mungkin, ini hasil pelajaran yang ia terima dari
peristiwa yang lalu. Atau, mungkin Allah memberikan hati yang lebih
‘dewasa’ atas ketegasan sikapnya, memilih menjauh dari yang ia cintai
demi menjaga kedekatannya dengan Rabbnya. “Alhamdulillah, semua
peristiwa memang ada hikmahnya,” bisiknya dalam hati yang penuh
kecintaan atas skenario Ilahi.
November 2005
Petualangan
Indra untuk menjemput si wajah imut begitu melelahkan. Mungkin beberapa
orang akan beranggapan bahwa Indra akan patah arang untuk menikah.
Tapi, tidak! Itu salah besar. Indra malah semakin semangat mencari si
wajah imut yang dinanti. Karena perkara ini harus segera dituntaskan.
Beberapa hari menjelang lebaran, Indra memberanikan diri menghubungi Murabbinya.
Ia bercerita tentang keputusan orang tua Raina. Dengan menebalkan muka
dan telinganya, ia kembali meminta untuk dicarikan calon istri.
“Saya
bersedia. Tapi dengan syarat langsung ta’aruf tanpa proses pertukaran
biodata terlebih dahulu.” ucap Ustadz Rafiq dengan tegas tanpa basa
basi.
Indra hanya diam dan mengangguk pelan. Jangankan untuk protes, melihat wajah Murabbinya saja
ia sangat malu. ia sangat malu atas lakonnya terdahulu. “Iyalah,
ustadz. Whatever.” jawabnya dalam hati tanpa perlawanan. Indra
benar-benar pasrah. ia menyerahkan semuanya kepada Murabbinya itu.
Secepat kilat, hanya berselang beberapa hari saja, Ustadz Rafiq sudah menemukan calon untuk Indra yang siap untuk ta’aruf.
Hari-harinya berjalan seperti biasa, tidak ada yang istimewa. Karena
prinsipnya sekarang berbeda, “Kalau memang jodoh, pasti si wajah imut
yang dinanti kian mendekat. Tapi kalau memang belum jodoh, ya sudah.
Mungkin di lain waktu dan tempat, si wajah imut yang lain sudah menuggu.
Ngapain terlalu dipikirkan?”
Sekarang, Indra sudah lebih
pasrah, lebih ikhlas dalam menjalani skenario Ilahi yang dititipkan
untuknya. Ia jauh lebih dewasa dalam menyikapi hari-harinya yang lalu.
“Bisa jadi, aku memang harus menata hidupku untuk sementara waktu hingga
waktu itu akan tiba dengan sendirinya. Atau, bisa jadi Allah menunda
pernikahanku atas niat dan caraku yang mulai bengkok. Karena tidak akan
ada keberkahan di sana.” ucapnya sekali waktu kepada sahabatnya, Akram.
Sabtu, 12 November 2005
Hari
ini hujan rintik memberi nada pada indahnya pagi yang Allah
persembahkan untuk hamba-Nya. Indra bersiap untuk berangkat kerja di
tengah dinginnya udara dengan jiwanya yang benar-benar baru. Semangatnya
yang baru. Langkahnya yang kian tertata. Tak ada lagi keluh kesah
seperti dahulu, yang ada hanya Indra yang optimis karena Allah yang
menjadi sandaran.
Di dalam bus karyawan menuju kantor, tiba-tiba
ponselnya berbunyi. Menandakan ada panggilan masuk. Dalam posisi berdiri
dan berdesak-desakan dengan karyawan lain, Indra tetap mengangkat
ponselnya karena itu panggilan dari ustadz Rafiq, “Mungkin ada sesuatu
yang penting.” batinnya.
“Hallo… Assalamualaikum, Ustadz.”
“Wa’alaikum
salam, Akhi. ‘Afwan, akhwat yang ana tawarkan sama antum kemarin ana
ganti ya?” ucap Ustadz Rafiq santai, tanpa beban.
“Ya, ustadz. Gak apa-apa. Ana tsiqah aja,” jawab Indra dengan malas.
“Tapi, insya Allah besok kita tetap ta’aruf, kok.” tambah ustadz Rafiq lagi.
“Kalau boleh tahu, dengan siapa ustadz?” tanya Indra datar.
“Dengan akhwat yg pertama dulu. Katanya sekarang dia udah siap.”
Degg. Tiba-tiba,
jantung Indra berdegup kencang melebihi biasanya. Lidahnya kelu. Ia
ingin tertawa bahagia, tapi ia tahan. Ia ingin sujud syukur, tapi tidak
bisa. Ia ingin menangis haru, tapi malu. Hatinya kembali disusupi oleh
cinta yang sama. Cinta yang sudah ia ikhlaskan. Anggota tubuhnya
berhenti bereaksi untuk sesaat. Ia terdiam.
“Hallo.. Hallo.. Gimana? Besok bisa? Kalau bisa ana konfirmasi sama akhwatnya?”
“Ya.. yaa.. ustadz, insya Allah ana bisa,” jawab Indra.
Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan?
13 November 2005
Selesai shalat Ashar, Indra dengan ditemani ustadz Rafiq mendatangi rumah Ustadzah Anna, Murabbiyahnya Diandra,
yang akan menjadi calon istri Indra. Di sana, Diandra telah menunggu.
Tidak lupa, ustadz Rafiq dan ustadzah Anna memberikan tausyiah untuk Indra juga Diandra sebelum memasuki sesi tanya jawab. Menit-menit berlalu setelah tausyiah berakhir tidak ada yang berani memulai untuk bertanya.
Indra benar-benar nervous.
Ia tidak ingin kehilangan si wajah imut dalam bingkai pas foto hitam
putih berukuran 3×4 untuk kedua kalinya. Ia tidak ingin memberikan
pertanyaan karena takut pertanyaannya akan menyulitkan Diandra sehingga
dia berubah pikiran lagi. Maka, Indra pun memilih untuk diam karena
benar-benar tidak ingin kehilangan Diandra.
Ustadz Rafiq dan
Ustadzah Anna pun bingung dengan sikap diam yang diambil oleh Indra dan
Diandra. Sampai akhirnya, Diandra membisikkan sebuah pertanyaan kepada
ustadzah Anna.
“Akhi, akhwatnya tanya kalau di rumah antum kira-kira diterima gak orang yang berjilbab lebar?”
Indra hanya tersenyum geli, “Pertanyaan klise,” batinnya.
Tapi tetap ia jawab, “Keluarga ana sudah paham dengan tarbiyah, baik orangtua maupun adik-adik.”
Dengan
pertanyaan itu, Indra juga dituntut untuk memberikan pertanyaan. Ia
bingung harus bertanya apa. Tanpa berpikir panjang, pertanyaan itu pun
keluar dari mulutnya, “Kalau ana sih, pingin tahu aja. Kira-kira
akhwatnya mau gak jadi istri saya. Kalau mau, kapan saya boleh mengkhitbah?”
Ustadz Rafiq dan Ustadzah Anna pun tertawa atas pertanyaan Indra.
“Antum gimana sih? Kok to the point gitu?” kata ustadz Rafiq masih dengan tawa kecilnya.
“Loh ngapain ribet-ribet,
toh saya gak keberatan sama sekali dengan akhwatnya. Jadi tinggal
jawaban akhwatnya aja, kan?” Indra menjawab santai walau hatinya
harap-harap cemas. Berharap agar Diandra segera menjawab dengan anggukan
tanda setujunya dan cemas kalau-kalau Diandra tidak menyukai sikap to the pointnya.
Ustdzah
Anna dan Diandra pamit ke belakang sebentar untuk berdiskusi. Tidak
menunggu lama, berselang beberapa menit saja, Ustadzah Anna muncul dan
menyampaikan keputusan Diandra, “Alhamdulilah akhwatnya setuju dan siap
menuju tahap berikutnya,” ucap ustadzah Anna dengan senyum mengembang.
19 November 2005
Hari
ini menjadi salah satu hari yang istimewa bagi Indra. Ia ditemani Ayah
dan ustadz Rafiq berangkat menuju kampung halaman Diandra. Tanpa kendala
berarti, lamarannya diterima. Kali ini, ia benar-benar mendapat restu.
Ia bahagia. Ia perbanyak syukur, ia kembali mengencangkan ibadahnya. Ia
tidak ingin lengah seperti sebelumnya.
10 April 2006
Hari ini Indra benar-benar memperoleh ‘aisyah si wajah imut bernama Diandra. Sejak pertemuan saat ta’aruf itu,
Indra baru bertemu lagi dengan si wajah imut dua hari sebelum ijab
kabul. Komunikasi ia lalui melewati ustadzah Anna. Ia benar-benar
menjaga keberkahan dalam setiap proses menuju pernikahannya. Dan selama
itu pula Indra masih penasaran, kenapa Diandra dulu menarik kembali
biodatanya.
“Dik Dia, dulu kenapa menolak ta’aruf dan malah menarik biodata kembali ya?”
Dengan santai, Diandra menjawab simple tanpa beban, “Dulu saya menarik diri karena ada masalah keluarga yang harus diselesaikan. Saat saya sudah siap lagi, saya gak
tahu kalau akan dita’arufkan dengan Mas. Saya cuma diminta datang buat
ta’aruf tanpa tahu dengan siapa akan dita’arufkan.” suara Diandra
begitu lembut terdengar, indah.
“Dik Dia tahu, gak? Kalau dulu mas
yang menerima biodata dengan pas foto hitam putih berukuran 3×4 itu.”
ucap Indra dengan senyum yang dibalas senyuman malu-malu dari Diandra si
wajah imut yang dinanti.
“Ya Allah, alangkah mudahnya Engkau
mempertemukan kami. Kemudian Engkau pisahkan dan kemudian Engkau
pertemukan kembali. Mahasuci Engkau, Ya Allah. Aku akan menjaga
amanah-Mu dengan sungguh-sungguh.” ucap Indra sambil menatap Diandra.
Ada butiran air mata yang jatuh perlahan menemani rasa syukur atas
nikmat dan ujian yang silih berganti Allah berikan untuknya.
***
Diandra
benar-benar datang tepat pada waktunya. Ia datang ketika Indra
benar-benar ikhlas menerima siapapun. Bersyukur atas apa yang diberikan,
menjaga niat dalam setiap langkahnya. Karena kesucian suatu tujuan
menuntut kesucian cara dalam merealisasikannya. Seperti itulah Allah
mencintai hamba-Nya.
Posting Komentar