Namun memang disengaja bahwa foto tersebut tanpa caption agar dapat mengarahkan publik bahwa Posko Jokowi (Tempo menyebutnya demikian) terbakar hebat. Foto bisu Tempo.co ini meyakinkan pembaca berita bahwa telah terjadi efek derita yang dahsyat. Apalagi dengan terminologi “dibakar” yang digunakan Tempo. “Dibakar” dan foto bisu dengan api yang bergolak melengkapi efek dramatisasi ini.
Tapi benarkah bahwa foto tersebut adalah foto pembakaran Posko Jokowi? Sekarang adalah era jurnalisme masyarakat (citizen journalism) sebagai partisipasi masyarakat dalam mengawasi jalannya demokrasi. Sekarang juga adalah era ketika “manipulasi” mudah untuk diketahui dengan segera karena semakin canggihnya teknologi informasi. Sekarang era Google. Dengan Google kita bisa melacak duplikasi sebuah foto. Dan saya menggunakannya untuk kali ini.
Di Google fasilitas penelusuran bisa menggunakan teks ataupun gambar. Foto ikon kamera di sebelah kaca pembesar memudahkan penelurusan dengan gambar.
Fasilitas pencarian gambar dengan menggunakan gambar di Google. |
Capture berita kebakaran Kantor PLN Madiun Terbakar. (Sumber: Tempo.co)
Capture berita kebakaran di Jelambar. (Sumber: Tempo.co) |
Saya tidak tahu
foto kebakaran itu atas foto yang terjadi untuk peristiwa kebakaran di
Jelambar atau di Kantor PLN atau untuk peristiwa kebakaran yang lainnya.
Biarlah ahli multimedia
yang menganalisisnya. Tempo.co malas mencantumkan caption dalam
beberapa fotonya walau hanya sekadar dua kata “ilustrasi kebakaran”. Dua
kata itu memberikan pemahaman bahwa foto itu hanya sekadar ilustrasi
dan bukan peristiwa kejadian kebakaran yang sebenarnya.
Berita dan foto
pembakaran Posko Jokowi telah menjadi viral dan diunggah oleh
situs-situs lainnya. Ada yang serta-merta di antaranya menayangkan foto
Tempo.co di atas sebagai sebuah fakta kebakaran di posko itu. Padahal
dari beberapa pemberitaan dan foto yang ditayangkan, kebakaran itu tidak
separah yang digambarkan dalam foto. Eternit posko tidaklah hancur atau
menghitam sebagaimana digambarkan dalam ilustrasi foto.
Tapi apa pun
motif yang ada di belakang peristiwa kebakaran ini, entah di mana pun
kejadian kebakaran itu terjadi, saya turut prihatin. Sebagai orang yang
pernah mengalami peristiwa kebakaran saya sedikit banyak tahu derita
psikologis korban kebakaran. Namun keprihatinan ini pun tidak menutupi
kekritisan kita terhadap netralitas media.
Netralitas
media adalah hal yang langka pada saat ini. Tidak netral pun bukan hal
yang tabu lagi. Tapi tugas media massa yang tidak boleh dilupakan adalah
mencerdaskan masyarakat. Ketika media massa tidak menjalankan tugasnya
maka tugas masyarakat itu sendiri untuk lebih cerdas dalam menyaring
berita. Agar isi kepala tidak dipenuhi dengan sampah. Ini bukan negative
campaign atau black campaign.
Terima kasih.
***
Riza Almanfaluthi
Posting Komentar