Sensasionalisme Iklan Politik dan Partai Miskin Ideologi

Admin | Selasa, April 15, 2014 |

KURANG lebih hampir sepekan lalu pemilihan umum untuk anggota legislatif berjalan di Indonesia. Setelah melampaui hiruk-pikuk masa kampanye, kini kita dihadapkan dengan hiruk-pikuk analisis politik.

Dari sekian banyak analisa yang ada, tema koalisi menjadi pembahasan yang lebih dominan. Hal ini disebabkan dari persebaran suara rakyat yang hampir merata. Bahkan partai sekelas PDIP, menurut perhitungan cepat dari berbagai lembaga survey, gagal menembus presidential threshold.

Sejenak marilah kita melakukan flashback. Meninjau ulang bagaimana sepak terjang partai politik Indonesia dalam meraih suara masyarakat selama masa kampanye. Sebab tanpa kampanye yang efisien, partai politik akan kehilangan pemilihnya. Tanpa kampanye, sulit membedakan karakter satu Parpol dengan Parpol lain

Sebagai bangsa yang sedang tumbuh, dalam persoalan politik, masyarakat kita memiliki permasalahan serius. Salah satu masalah serius yang kita hadapai adalah gagal memahami makna kampanye. Padahal, dari dan lewat kampanye, sebuah Parpol menunjukkan gaya komunikasinya.

Gaya komunikasi Parpol ini penting untuk diamati. Sebab dari sana masyarakat dapat menilai kualitas dan ideologi yang terkandung dalam Parpol tersebut. Mau tidak mau, masa kampanye menjadi tolok ukur paling efisien dalam menilai gaya komunikasi Parpol. Walau menyedihkan, kita tidak bisa membantah bahwa kegiatan komunikasi antar Parpol dan masyarakat hanya intens terjadi di masa kampanye.

Kampanye tidak melulu berisi muatan politik. Karena berdiri dalam ranah komunikasi, lumrah jika kampanye Parpol memiliki banyak kandungan. Apalagi mengingat tujuan utama kampanye adalah mendulang perolehan suara, maka berbagai pendekatan lewat berbagai cara biasa dilakukan.

Selain materi dan teknik, kampanye politik juga sangat bergantung pada media. Hal ini tentunya tidak lagi perlu diragukan mengingat beberapa Parpol memiliki “kuasa” khusus atas media massa. Bahkan yang tidak memiliki “kuasa” khusus pun berusaha untuk turut tampil maksimal di berbagai media.

Sensasionalisme dalam Iklan Politik
Dalam dunia jurnalisme, kata sensationalism bermakna memanfaatkan sensasi dari sebuah berita, cerita, informasi atau kabar dengan tujuan memancing ketertarikan publik atas berita tersebut. Sedangkan falsafah sensationalism sendiri berfokus bahwa realitas hanyalah apa-apa yang bisa ditangkap oleh panca indera.

Sensationalism sendiri memiliki akar kata dari sense yang artinya indera. Karena berfokus pada indera ini, sensationalism memiliki kedekatan konsep dengan empirisme. Sedangkan dalam psikologi, kita bisa melihat teori classical conditioning yang digagas oleh Ivan Pavlov lewat percobaan dengan anjingnya. Teori ini menjelaskan bahwa stimulus inderawi sangat mempengaruhi kebiasaan (baik hewan dan manusia).

Ketergantungan sensationalism yang mendasar atas panca indera adalah pertanda jelas bahwa konsep ini berkiblat pada materialisme. Lalu apa hubungannya sensationalism dengan iklan politik masa kampanye?

Iklan sebagai media promosi dapat mengambil banyak bentuk. Ia bisa berwujud tayangan audio visual di televisi, siaran audio lewat radio, atau tampilan visual lewat poster dan sejenisnya. Sedangkan sifat dari promosi sendiri bertujuan membuat masyarakat agar tertarik dengan apa yang diiklankan. Dan cara paling mudah membuat masyarakat tertarik adalah dengan memberi stimulus inderawi.

Siapa yang tidak tertarik ketika melihat kerumunan massa yang kompak berseragam?. Siapa yang tidak tertarik ketika mendengar pidato berapi-api?. Siapa yang tidak tertarik menyaksikan tokoh masyarakat turun ke jalan?.

Jika kita amati iklan-iklan Parpol selama kampanye di berbagai media, semuanya adalah parade panjang sensasionalisme. Mulai dari yang menawarakan sensasi masa lalu, sensasi “perubahan”, sensasi “bersih”, sensasi “merakyat”, sampai sensasi artis.

Ketika Parpol sebagai pemegang kuasa politik negeri ini hanya mampu mengkampanyekan sensasi, sulit tentunya bagi bangsa ini untuk menjawab tantangan besar masa depan. Sebab permasalahan kebangsaan tentu tidak dapat dijawab dengan sensasi belaka.

Gaya kampanye sensasionalis ini seharusnya menjadi cermin, bahwa Parpol telah memandang rendah rakyatnya sendiri. Sebab gaya kampanye sensasionalis secara langsung menempatkan rakyat sebagai golongan bodoh.

Kekacauan antara Citra dan Ideologi
Sensasionalisme dalam ranah praktis memiliki ikatan kuat dengan pencitraan. Sebab tanpa citra, tak ada sensasi yang bisa dibangun, Sebaliknya, sensasi akan selalu berkutat pada citra. Parpol di Indonesia pun paham betul pentingnya citra.

Berkaca dari masa-masa menjelang pemilu, semua Parpol sibuk membentuk citra masing-masing. Sensasi yang diangkat pada masa kampanye adalah kristalisasi citra Parpol dimasa sebelumnya. Contoh sederhana, jika kita menilik iklan Golkar dengan jargon “enak zaman Golkar”, maka kita sadar betul betapa massifnya sensasi itu dibuat lewat kristalisasi citra “enak zamanku tho?” dengan latar foto Presiden Soeharto.

Panjangnya persiapan Parpol membangun citra membuat ideologi partai menjadi kacau. Kacaunya ideologi dalam tubuh Parpol ini ditandai dengan maraknya politik transaksional. Tanda lain kekacauan ideologi juga dapat ditilik dari tidak sinkronnya aspirasi grassroot sebuah Parpol dengan para elitnya.

Kompromi kebablasan, mental wani piro, dan politik transaksional adalah bukti nyata bahwa Parpol saat ini justru meletakkan ideologinya sebagai alat pencitraan. Kondisi ini tentu melahirkan ironi jika kita melihat era pemilu tahun 1955, dimana ideologi Parpol begitu kuat sehingga justru dari ideologi tersebut Parpol memperoleh citranya masing-masing.

Jika dahulu Parpol melahirkan ideologi lewat konsep-konsep yang jelas, Parpol masa kini justru menjadikan citra sebagai ideologi. Hal ini terjadi karena Parpol harus bisa memikat masyarakat Indonesia yang majemuk ini sebanyak-banyaknya agar dapat eksis. Jika dulu orang terpikat dengan ideologi parpol, kini Parpol harus bisa memikat masyarakat lewat citra berbungkus ideologi.

Akibatnya, karena pemimpin kita lahir dari Parpol. Sulit kita temui pemimpin yang berani dan berkarakter karena miskin idelogi. Nyata kita lihat ideologi tertinggi bagi Parpol adalah kompromi. Di tengah menggunungnya persoalan bangsa, Parpol kita saat ini tentu lebih sibuk memikirkan akan berkoalisi dengan siapa. Karena miskin Ideologi, Parpol kita memiliki kemampuan untuk berkoalisi dengan siapa saja. Bahkan walau para pemilihnya bisa jadi tidak setuju dengan koalisi tersebut.

Deislamisasi Politik Indonesia
Di era postmodern, dimana sistem nilai dan batasan norma tidak lagi dianggap penting, semua lini peradaban manusia perlahan dirusak, tidak terkecuali ranah politik. Sebagai sebuah proses dimana perarturan dan kekuasaan berkelindan, kerusakan ranah politik mengancam seluruh komponen didalamnya. Artinya, kerusakan yang digagas pemimpin pasti akan berimbas kepada mereka yang dipimpin.

Kerusakan paling besar yang tengah melanda ranah politik Indonesia adalah deislamisasi. Deislamisasi adalah proses pencabutan dan penghilangan nilai-nilai keislaman yang sudah ditanamkan dengan susah payah oleh mujahid-mujahid yang membebaskan Indonesia dari tangan penjajah.

Contoh paling sederhana adalah hilangnya makna amanah dalam konstelasi kepemimpinan bangsa. Dalam Islam, amanah dari rakyat tidak semata-mata kelak dipertanggungjawabkan lagi di hadapan rakyat, tapi juga akan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah SWT.

Sementara itu apa yang kini terjadi?
Amanah hanya dijadikan gincu pemanis kampanye. Bagaimana mungkin amanah kepemimpinan yang diberikan rakyat dan dipertanggungjawabkan kelak di yaumul akhir dapat dengan mudahnya dikompromikan lewat lobby-lobby? Bagaimana mungkin seorang calon pemimpin muslim berkoalisi dengan partai tempat bersarangnya koruptor?

Jika pemimpin kita saja sudah gagal memahami kepada siapa sesungguhnya kelak ia akan mempertanggungjawabkan kepemimpinannya, maka bagaimana nasib rakyat yang dipimpinnya kelak?

Perubahan dunia politik Indonesia paling mungkin dimulai lewat ranah pendidikan. Sebab melalui pendidikan  adab keislaman yang lengkap kita menyaksikan munculnya calon-calon pemimpin harapan. Pemimpin yang mampu mengintegrasikan ilmu dan iman dalam amal. Walau masih tampak panjang jalannya, janganlah kita berputus asa. [islampos]
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Guru Tomo | Guru Tomo
Copyright © 12.12.2013. gurutomo - All Rights Reserved
Modifikasi by Creating Website Published by Guru Tomo
Proudly powered by Blogger