Oleh: Ahmad Chudori Nawawi
KETIKA Indonesian Idol 2006 sudah selesai, dan juaranya
adalah Ihsan, kemenangan Ihsan itu serasa jadi sebuah pembenaran dan
eforia tersendiri—terutama bagi remaja-remaja muslim. Sebelumnya,
pemenang-pemenang Idol selalu non-muslim. Banyak dari remaja (muslim)
yang tiba-tiba jadi merasa berkepentingan, setidak-tidaknya itu yang
saya rasakan ketika bertemu dan mengobrol dengan beberapa anak muda yang
saya kenal dan mengaku tak bisa dipisahkan dari musik. Jadi?
Ketika Dirly berhasil menyisihkan Ghea, satu-satunya cewek yang masih
tersisa di tiga besar pada tahun itu, ia mengucapkan kata-kata yang
selalu sama yang juga diucapkan Joy Tobing (kemudian diganti oleh Delon)
dan Mike Mohede (juga oleh semua kerabat dan rekannya: ibu, bapak,
tante, om, adik, kakak, dan semuanya) bahwa, “Kemenangan ini ke babak grand final adalah skenario dari Tuhan Yesus untuk Indonesia.”
Bukan hanya itu, secara penampilanpun Dirly (dan juga yang lainnya
itu) selalu menyelipkan pesan-pesan moralnya yang begitu jelas, bahwa
dia adalah seorang penganut Kristen. Baik tergambar dari
tayangan-tayangan backdrop kehidupan
sehari-harinya, ataupun di atas panggung yang tentu saja, sebuah kalung
salib besar dengan bermacam-macam bentuk dan modifikasi ia kenakan. Di
negara seperti Indonesia, itu bebas.
Bagaimana dengan rival terberatnya: Ihsan—yang seorang muslim?
Sebelum terjun ke dunia yang hiruk-pikuk, Ihsan konon adalah seorang
munsyid, jadi artinya di kampungnya ia mempunyai sebuah grup nasyid.
Bukan itu saja, Ihsan datang dengan segala kepolosan plus keluguannya,
bayangkan dari beberapa proses audisi ke 10 besar, ia hanya mengenakan
pakaian yang itu-itu saja (yang artinya ia memang berasal dari keluarga
menengah ke bawah), hingga sampai-sampai Titi DJ membelikannya beberapa
perangkat pakaian yang memang harus dikenakan di sebuah acara reality show remaja
seperti Idol. Hingga tidak heran jika kemudian infotainment rame-rame
membaptis kemenangan remaja yang baru berumur 16 tahun ketika itu
“sebagai kemenangan yang menjual penderitaan.”
Sejak pertama kali melihat keikutsertaan Ihsan di Idol 2006, saya
sudah yakin sekali, seyakin-yakinnya jika anak itu bakalan jadi
juaranya. Sama orang-orang rumah saya berujar, “Pegang neh, si Ihsan
pasti juara!”
“Ihsan? Ihsan mana? Juara apaan?” tanya istri saya.
“Idol!”
“Kirain apa! Kayak nggak ada urusan yang lebih penting lagi apa, ngurusin kayak gituan!”
Saya hanya tersenyum saja ketika itu. Dan keyakinan itu bukannya sama
sekali tak beralasan. Selain sudah disebutkan di atas, pikiran saya
menerawang, Ihsan mungkin menjadi aset yang menguntungkan buat pihak
lain secara ideologi terutama, juga berkaca pada ajang serupa beberapa
tahun kemudian. Di Idol, atau acara-acara serupa, sentimen seperti itu
mungkin tidak ada. Bahwa yang dilihat dan diterima murni berdasarkan
skil bernyanyi saja.
Ketika Daniel Mananta dan Acha ketika itu (masih ketika itu)
mengatakan bahwa Indonesia telah memilih Ihsan, sesungguhnya sujud
syukur Ihsan dan teriakan takbir dari keluarganya, keterharuan
teman-teman dan pendukungnya hanya akan memberi sedikit arti bagi
sebagian dan namun arti banyak sebagian bagi yang lainnya. Kenapa?
Karena arti banyaknya, setelah itu, berikutnya, bisa dipastikan antrean
remaja seperti mereka untuk mengikuti ajang-ajang serupa ini bakalan
lebih panjang dan lama lagi. Arti sedikitnya, silakan pikirkan sendiri.
Beberapa tahun kemudian, Fatin, remaja putri berjilbab, juara X-Factor. Tahun ini ada Maesarah, akrab dipanggil Sarah, yang pekan kemarin menyanyikan Emotion milik Mariah Carey dengan suara meliuk-liuk namun dikritik oleh Titi dan Ahmad Dhani.
Moga-moga saja saya tidak bakalan melihat personil grup nasyid di sana. Becanda!
chudori@centrin.net.id
Posting Komentar