Akankah Sarah Menang Seperti Fatin dan Ihsan?

Admin | Selasa, Februari 25, 2014 |

Oleh: Ahmad Chudori Nawawi

KETIKA Indonesian Idol  2006 sudah selesai, dan juaranya adalah Ihsan, kemenangan Ihsan itu serasa jadi sebuah pembenaran dan eforia tersendiri—terutama bagi remaja-remaja muslim. Sebelumnya, pemenang-pemenang Idol selalu non-muslim. Banyak dari remaja (muslim) yang tiba-tiba jadi merasa berkepentingan, setidak-tidaknya itu yang saya rasakan ketika bertemu dan mengobrol dengan beberapa anak muda yang saya kenal dan mengaku tak bisa dipisahkan dari musik. Jadi?

Ketika Dirly berhasil menyisihkan Ghea, satu-satunya cewek yang masih tersisa di tiga besar pada tahun itu, ia mengucapkan kata-kata yang selalu sama yang juga diucapkan Joy Tobing (kemudian diganti oleh Delon) dan  Mike Mohede (juga oleh semua kerabat dan rekannya: ibu, bapak, tante, om, adik, kakak, dan semuanya) bahwa, “Kemenangan ini ke babak grand final adalah skenario dari Tuhan Yesus untuk Indonesia.”

Bukan hanya itu, secara penampilanpun Dirly (dan juga yang lainnya itu) selalu menyelipkan pesan-pesan moralnya yang begitu jelas, bahwa dia adalah seorang penganut Kristen. Baik tergambar dari tayangan-tayangan backdrop kehidupan sehari-harinya, ataupun di atas panggung yang tentu saja, sebuah kalung salib besar dengan bermacam-macam bentuk dan modifikasi ia kenakan. Di negara seperti Indonesia, itu bebas.

Bagaimana dengan rival terberatnya: Ihsan—yang seorang muslim? Sebelum terjun ke dunia yang hiruk-pikuk, Ihsan konon adalah seorang munsyid, jadi artinya di kampungnya ia mempunyai sebuah grup nasyid. Bukan itu saja, Ihsan datang dengan segala kepolosan plus keluguannya, bayangkan dari beberapa proses audisi ke 10 besar, ia hanya mengenakan pakaian yang itu-itu saja (yang artinya ia memang berasal dari keluarga menengah ke bawah), hingga sampai-sampai Titi DJ membelikannya beberapa perangkat pakaian yang memang harus dikenakan di sebuah acara reality show remaja seperti Idol. Hingga tidak heran jika kemudian infotainment rame-rame membaptis kemenangan remaja yang baru berumur 16 tahun ketika itu “sebagai kemenangan yang menjual penderitaan.”

Sejak pertama kali melihat keikutsertaan Ihsan di Idol 2006, saya sudah yakin sekali, seyakin-yakinnya jika anak itu bakalan jadi juaranya. Sama orang-orang rumah saya berujar, “Pegang neh, si Ihsan pasti juara!”
“Ihsan? Ihsan mana? Juara apaan?” tanya istri saya.
“Idol!”

“Kirain apa! Kayak nggak ada urusan yang lebih penting lagi apa, ngurusin kayak gituan!”
Saya hanya tersenyum saja ketika itu. Dan keyakinan itu bukannya sama sekali tak beralasan. Selain sudah disebutkan di atas, pikiran saya menerawang, Ihsan mungkin menjadi aset yang menguntungkan buat pihak lain secara ideologi terutama, juga berkaca pada ajang serupa beberapa tahun kemudian. Di Idol, atau acara-acara serupa, sentimen seperti itu mungkin tidak ada. Bahwa yang dilihat dan diterima murni berdasarkan skil bernyanyi saja.

Ketika Daniel Mananta dan Acha ketika itu (masih ketika itu) mengatakan bahwa Indonesia telah memilih Ihsan, sesungguhnya sujud syukur Ihsan dan teriakan takbir dari keluarganya, keterharuan teman-teman dan pendukungnya hanya akan memberi sedikit arti bagi sebagian dan namun arti banyak sebagian bagi yang lainnya. Kenapa? Karena arti banyaknya, setelah itu, berikutnya, bisa dipastikan antrean remaja seperti mereka untuk mengikuti ajang-ajang serupa ini bakalan lebih panjang dan lama lagi. Arti sedikitnya, silakan pikirkan sendiri.

Beberapa tahun kemudian, Fatin, remaja putri berjilbab, juara X-Factor. Tahun ini ada Maesarah, akrab dipanggil Sarah, yang pekan kemarin menyanyikan Emotion milik Mariah Carey dengan suara meliuk-liuk namun dikritik oleh Titi dan Ahmad Dhani.

Moga-moga saja saya tidak bakalan melihat personil grup nasyid di sana. Becanda!
chudori@centrin.net.id



Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Guru Tomo | Guru Tomo
Copyright © 12.12.2013. gurutomo - All Rights Reserved
Modifikasi by Creating Website Published by Guru Tomo
Proudly powered by Blogger