Golput, Dendam, dan Maaf

Admin | Jumat, Februari 14, 2014 |

LELAKI itu menghantam sanubari saya. Pilihannya mantap, semantap keyakinannya untuk tidak lagi menolehi partai Islam sekalipun. Lelaki saleh itu berujar dalam statusnya, “Ketika konstitusi hanya mengijinkan para politisi yang memimpin negeri ini, maka gerakan Golput adalah kemestian yang harus diperjuangkan demi masa depan negeri ini. karena hanya cara itu yang tersisa untuk meyakinkan khalayak bahwa kita sama sekali tak butuh politisi…”

Sepekan lalu saya masih berharap, ia sekadar bercanda nakal kepada mantan jamaah cum partai yang disimpatikinya. Sebagai kritik, masukan lelaki dai dan dosen—singkatnya pendidik—ini amat berharga. Jangan sampai gerakan dakwah dalam baju partai terus beranjak pada pragmatisme. Kemuakannya pada perilaku partai sudah semakin membumbung, tampaknya. Jejaknya di masa lalu tidak sinkron dengan gerak ideal beberapa politisi yang diamani memimpin partai (atas nama) umat sekalipun.

Saya juga masih menerima ketika dengan cerdas lelaki itu menjelaskan hakikat dakwah dalam berpartai. Sebuah ulasan menarik yang langsung seketika meraih banyak jempol dari pembacanya. Kita tersadar bahwa berjuang demi menegakkan kalimat Allah di Bumi Nusantara tidak melulu melalui partai. Karena toh maraknya penggunaan jilbab pun diawali dan dikawal oleh gerakan di luar partai. Bukan dari partai politik ketika itu. Teramat banyak contoh yang bisa diajukan bahwa tanpa partai pun, kita—umat Islam—bisa eksis dan memperjuangkan hak aspirasinya.

Menilik wacana dalam status tadi, teringatlah saya pada Buya Natsir. Bukan tersebab dendam pada Soeharto dan rezim Orde Baru yang melarang Masyumi muncul kembali. Bukan lantaran partai adalah segala-galanya. “Demi  berpartai”, Natsir berpaling pada Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sebuah partai gurem yang memang belum ideal dibandingkan partai yang pernah dipimpinnya. Ideal dalam arti kebesaran pendukung ataupun kemuliaan akhlak. PPP tidak ideal, tapi atas nama persatuan dan perjuangan, Buya Natsir membela. Sekumpulan kampret berkerah putih dan biru ada di partai besar umat Islam ini, tapi Natsir bergeming. Ada yang lebih penting dibela ketimbang mengharuskan partai bersih lebih dulu dari para kampret itu.

Mencoba bijak dengan seribu kilah sejatinya hanya menandai kita siapa. Sealim apa pun kita berdalil, akan tetap jejak siapa diri kita terhadirkan. Kalaulah kita tidak mengerti masalah, pandirnya si awam dengan memilih Golput adalah bentuk toleransi. Golput sering kali dan selalu gara-gara politisi. Ini Golput politis. Lain halnya dengan sebab teknis, gagal mencoblos karena tidak terdaftar atau sakit mendadak. Soal Golput teknis kita abaikan dalam bahasan di sini.

Golput adalah wajah sebuah dendam. Ia manifestasi dari pengalaman kekecewaan. Bukan dosa si pelakunya memang. Lagi-lagi, ini semua perilaku makhluk bernama politisi. Mereka membuat kita yang pernah menaruh asa tinggi-tinggi atas nama hormat dan kehormatan agama, di kemudian hari malah dikhianati. Dus, jadilah kita merasa paling tersakiti dan harus merasa demikian sebagai seorang anutan.

Seperti Buya Natsir, saya ingin berperilaku sederhana saja dan tidak mau menghakimi orang secara kacamata buta. Sebenci hati ini menggumpal pada politisi yang kita harapkan, adalah takelok menimpakan pada partai secara kolektif. Potensi-potensi kebaikan telanjur kita tutupi karena keinginan kita menutupi marwah diri agar citra diri kita tetap bersih dari “dosa” para politisi yang kita rutuki itu. Politisi polos nan pandir yang tidak tahu apa pun kita emohi. Kita mengabaikan bahwa mereka yang polos nan pandir itu belum tentu sehinanya dengan koleganya di partai yang berbuat nista. Atau, belum tentu sebersihnya catatan di lembaran Malaikat Pencatat Amal layaknya seperti kita.

Memilih Golput adalah pilihan, tetapi mendendam bukan sebuah pilihan yang bebas rekayasa. Kita bisa mengolah dendam dengan maaf sebagaimana Nabi Muhammad teladankan kepada umatnya. Benci kepada teman lama yang ”berkhianat” lantaran membelok dari “jalan Sunnah” juga sebentuk tanda cinta yang abadi. Hanya, haruskah dengan membelokkan muka dan tangan untuk tidak mendukung kala teman lama berjuang? Mengapa kita yakin hidayah ada di Tangan Allah, tapi kita tidak meyakini Tangan Allah tidak bakal mengubah teman lama yang kadung membelok dari “jalan Sunnah” itu?

Sebijak buya Natsir, bersikap bersahaja tanpa beban berat tapi kedepankan ukhuwah adalah teladan. Sebuah teladan yang kontekstual dan relevan sesuai fikih realitas di negeri ini. Baiklah, abaikan ketaatan kita pada fatwa haramnya Golput dari MUI. Tapi, tegakah kita dengan siapa penikmat dari hadirnya kita sebagai penyeru Golput? Mungkin lelaki dai itu sudah jengah dan bosan dengan dalil kritikan atas seruan Golput akan untungkan kaum sekuler dan non-Islam. Mungkin karena pertolongan Allah sudah sedemikian membesarnya ada di hati mereka sehingga tanpa ikhtiar melalui perjuangan teman di partai, kehendak-Nya pasti bisa dijumpai di tanah air kita tercinta ini. Maka, atas duli apa dengan kecemasan seruan Golput bakal menghentikan dakwah di parlemen?

Karena Golput adalah refleksi dendam, ia akan selalu membantah. Inilah wataknya. Tidak ada penyeru Golput politis yang tidak pendendam. Terlebih Golput tipe orang alim berislam yang kadung pernah menaruh harapan tinggi di masa silam. Kita kecewa, kadar kemurnian keislaman kita tercemari. Maka, memilih puritan dengan ber-Golput adalah cara bertobat hari ini.
Sekali lagi, seruan Golput adalah sah, hanya saja ia riak dari sekumpulan kotoran yang menggumpal di tenggorokan kita. Ia kudu dibuang agar saluran pernapasan kita lancar. Golput boleh diserukan, tapi kudu divisikan agar umat selamat. Bukan sesat gara-gara kita ingin selamat tapi telanjur bikin kiamat umat dan abaikan seruan banyak ayat.

Buya Natsir yang paham betul bagaimana gerak kalangan umat lain di negeri ini, lebih saya ikuti daripada petuah dai moncer di status Facebook. Meski kami sama pernah dikecewakan partai Islam pendaku partai dakwah, tapi saya memilih berboncengan dengan qaul Buya Natsir. Urusan internal partai Islam, biarlah saya tidak merasa tidak lagi bagian dari tubuhnya.

Tapi, saat partai-partai Islam tercabik-cabik lantaran kepandirannya, apakah kita kudu ikut mengumbar aibnya di media sosial hingga mendulang keriuhan simpati dari para mantan simpatisan partai tersebut yang kini satu shaf bersama kita, lantas ujungnya kita serukan Golput sebagai klimaks amarah kita yang diaurati baju kokoh rajutan Timur Tengah? Saya memilih sederhana saja: mau pilih arah politik aneh-aneh sekalipun, selagi ia masih banyak orang Islam di dalamnya yang potensi saleh, teramat sayang kita tidak percayai hadirnya barakah dari langit. Dus, saya hanya mau mengamalkan satu teladan Nabi: memaafkan. Bila memaafkan saja susah, apatah lagi ketika dimintai berjuang bersama. Bukan memaafkan si politisi busuk di partai dakwah, melainkan memaafkan diri kita dan kelemahan teman kita di partai dakwah yang gagal mengerem temannya yang busuk tadi. [islampos.com]



Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Guru Tomo | Guru Tomo
Copyright © 12.12.2013. gurutomo - All Rights Reserved
Modifikasi by Creating Website Published by Guru Tomo
Proudly powered by Blogger